Selain dilatih kemiliteran oleh para instruktur dari organik Resimen V, para jago silat itu juga sedikitnya dibekali granat. Setidaknya itu yang bisa disumbangkan tentara republik, lantaran senjata api masih jadi barang yang terbatas persediaannya.
Para jago silat itu juga tetap dengan pakaian seadanya mereka bak petani pada umumnya di zaman itu. Hingga tiba satu rombongan konvoi ranpur Inggris yang dikuntit serdadu Belanda merangsek ke wilayah republik hingga ke Rawa Pasung, Kranji, 29 November 1945.
Para jago silat “menyamar” layaknya rakyat biasa. Beragam sajam mereka sembunyikan di balik pakaian dan ketika beberapa yang ditugaskan menutup pintu perlintasan kereta merampungkan “blokade”, lantang suara takbir “Allahu Akbar...Allahu Akbar!”, jadi pengawal serangan mendadak.
Ya, konvoi Inggris dan serdadu Belanda itu mendapat surprise attack yang tak disangka. Pertarungan jarak dekat menjamah, sebagian meloncat ke atas panser-panser, tank, truk dan hanya sedikit serdadu Inggris serta Belanda yang siap dengan senjata modern mereka.
Kebanyakan terkejut dan tidak siap hingga bertumbangan setelah menghadapi pertarungan man-to-man. Tidak dipaparkan detail berapa serdadu Inggris-Belanda yang tewas, hanya tercatat 6 anggota Pesilat Subang meninggal.
Hasilnya? 12 senapan mesin dan 10 senapan laras panjang jadi “buah tangan”. Memang aksi mereka mengacak-acak formasi konvoi itu, hanya kemenangan kecil- selevel serangan kecil semacam raid, tapi sungguh berarti.
Berarti karena mengurangi kekuatan konvoi itu yang dalam upaya mundur ke arah Pondok Ungu, justru mendapati lagi sergapan mendadak Laskar Rakyat pimpinan KH Noer Ali, dibantu TKR sektor Bekasi pimpinan Mayor Sambas Atmadinata dan TKR Laut pimpinan M Hasibuan. (din)
(Rani Hardjanti)