SEMARANG – Indonesia memiliki kisah urban legend yang tumbuh subur di masyarakat. Salah satunya adalah legenda Rawa Pening di wilayah Kecamatan Banyubiru, Tuntang, Bawen dan Ambarawa, Kabupaten Semarang.
(Baca juga: Rawa Pening, Wisata Instagramable di Semarang Seindah Lukisan)
Setiap hari ada ratusan orang yang beraktivitas di danau alam seluas sekitar 2.400 hektar itu yang menyimpan cerita Legenda Rawa Pening. Aktivitas mereka bermacam-macam. Mulai dari mencari nafkah, berwisata hingga menyalurkan hobi memancing. Sejak dulu, Rawa Pening memang menjadi obyek wisata andalan di Kabupaten Semarang. Bisa dipastikan, setiap hari ada wisatawan yang berkunjung.
Di kawasan Rawa Pening ada beberapa destinasi wisata, antara lain Bukit Cinta yang berada di wilayah Kecamatan Banyubiru, Jembatan Biru di Tuntang, rumah apung di Asinan, Bawen. Sejumlah tempat tersebut kerap dikunjungi wisatawan. Selain untuk berekreasi, para wisatawan yang datang ke Rawa Pening sebagian ada yang kepingin mengetahui kisah Baro Klinting dan legenda terbentuknya Rawa Pening.
Berdasarkan cerita warga di pesisir Rawa Pening, danau alam itu terbentuk setelah seorang bocah bernama Baro Klinting mencabut lidi yang ditancapkannya di tengah hajatan pesta warga Desa Pathok. Tiba-tiba, keluar air dari lubang bekas tancapan lidi. Air terus membesar dan terjadi banjir. Banjir menenggelamkan desa dan akhirnya menjadi danau yang dikini di kenal dengan nama Rawa Pening.
Berdasarkan cerita turun temurun dari para leluhur, konon legenda Rawa Pening berawal dari kehidupan warga desa di kaki Gunung Telomoyo, yakni Desa Ngasem yang dipimpin oleh Ki Sela Gondang. Kepala desa tersebut dikenal bijaksana.
"Ceritanya, Ki Sela Gondang memiliki anak perempuan bernama Endang Sawitri," ujar Rusmadi warga Desa Rowoboni, Banyubiru, beberapa waktu lalu.
Suatu saat kata dia, masyarakat Desa Ngasem memiliki hajat menggelar merti desa (bersih desa). Namun ada yang harus disediakan warga sebagai tolak bala serta agar hajat tersebut berjalan dengan lancar dan masyarakat desa mendapat keberkahan. Untuk menolak bala dibutuhkan pusaka sakti milik Ki Hajar Salokantara. Kemudian Ki Selo Gondang mengutus putrinya untuk meminjam pusaka sahabatnya itu.
Mendapat tugas tersebut, Endang Sawitri segera melaksanakan tugas yang diberikan ayahnya. Setelah bertemu dengan Ki Hajar Salokantara, Endang Sawitri kemudian menyampaikan maksud dan tujuannya untuk meminjam pusaka. Ki Hajar Salokantara pun meminjamkan pusaka yang dimaksud. Namun sebelum Endang Sawitri pulang, Ki Hajar Salokantara berpesan jangan sampai pusaka itu diletakkan di atas pangkuan.
Namun, di tengah perjalanan Endang Sawitri tanpa sengaja meletakkan pusaka itu di atas pangkuannya. Akibatnya, perut Endang Sawitri sakit. Endang Sawitri juga merasa sering mual-mual. Setelah diperiksa ternyata, Endang Sawitri hamil. Ini membuat Ki Sela Gondang bingung.
Akhirnya Ku Sela Gondang memohon Ki Hajar Salokantara untuk menilai putrinya. Dengan berat hati, Ki Hajar Salokantara menerima permintaan tersebut dan menikahi Endang Sawitri. Selanjutnya Ki Hajar Salokantara bertapa di Gunung Telomoyo. Waktu terus berlalu dan waktu melahirkan pun tiba. Proses persalinan Endang Sawitri ditolong oleh seorang dukun bayi.
"Dukun bayi itu, terkejut setelah mengetahui yang lahir ternyata ular naga. Begipula dengan Endang Sawitri, dia juga terkejut ketika melihat anaknya berwujud ular naga," ujar Rusmadi.
Selanjutnya, ular naga itu diberi nama Baro Klinting seperti nama pusaka milik Ki Hajar Salokantara. Seiring berjalannya waktu, Baro Klinting pun bertumbuh besar. Kemudian Baro Klinting menanyakan keberadaan ayahnya. Endang Sawitri pun menjelaskan ayahnya bernama Ki Hajar Salokantara dan saat itu sedang bertapa di Gunung Telomoyo.