JAKARTA - Sejarah menyebut jika Belanda pernah menjajah bangsa Indonesia selama 350 tahun. Dalam perjalanannya, sudah tentu banyak perlawanan dan perang besar yang dilakukan rakyat Nusantara. Tak jarang, perlawanan itu menyusahkan pihak Belanda.
Berikut adalah 3 perlawanan besar di Indonesia kala menghadapi Belanda:
Perang Jawa
Perang Jawa adalah salah satu perang besar yang terjadi selama 5 tahuh yang dimulai pada 1825 hingga 1830. Dalam Jurnal Pendidikan Sejarah dan Kajian Sejarah berjudul ‘Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa 1825 – 1830’ disebutkan bahwa perang ini menjadi titik awal kolonialisme di Pulau Jawa.
Tokoh yang paling terkenal dalam perang ini adalah Pangeran Diponegoro. Ia memimpin perang ini dan dianggap sukses membakar semangat perjuangan masyarakat.
Baca Juga: Gempa Bumi Buat Arca dan Candi Peninggalan Mataram Kuno di Malang Patah
Perang Jawa dipicu karena datangnya Belanda di wilayah Jawa yang mengubah banyak permasalahan, termasuk sosial dan politik. Apalagi, Belanda mampu merayu pihak Kesultanan Yogyakarta hingga menimbulkan kemerosotan moral di dalam keraton.
Dalam pertempuran itu disebutkan 200 ribu masyarakat Jawa harus meregang nyawa. Sementara, seperempat dari tanah Jawa mengalami kerusakan sangat parah.
Kerugian tidak hanya dialami pihak Indonesia, namun juga dari pihak lawan yakni Belanda. Pemerintah Belanda harus menggelontorkan dana hingga 20 juta gulden untuk membiayai perang ini.
Baca Juga: Tumbal Nyawa Mengiringi Pencurian Yoni Situs Srigading Peninggalan Mataram Kuno
Hal itu menyebabkan kerugian hebat dan cukup menyusahkan para petinggi negara tersebut. Setelah mengalami 5 tahun pertempuran, Pangeran Diponegoro akhirnya mau menyerahkan diri pada 28 Maret 1930. Keputusan itu ia buat karena pasukannya mendapat tekanan dan dijepit di Magelang oleh Jenderal de Kock.
Perang Aceh
Aceh menjadi wilayah yang juga tak luput dari sasaran tentara dan pemerintah Belanda. Negara Kincir Angin itu ingin menguasai rempah-rempah yang memang melimpah di Aceh. Sebagai bentuk perlawanan terhadap invasi Belanda, rakyat Aceh melakukan perlawanan hingga pecahlah Perang Aceh, mulai tahun 1873 sampai 1912.
Melansir jurnal Inovasi Penelitian bertajuk ‘Strategi Perang Semesta dalam Perang Aceh (1873 – 1912)’, disebutkan bahwa perang ini menjadi perang yang paling lama dialami Belanda.
Sementara itu, faktor lain yang mendorong terjadinya perang Aceh adalah karena Belanda menduduki Siak hingga melakukan Perjanjian Siak tahun 1858. Sultan Ismail diwajibkan untuk menyerahkan beberapa wilayah, yakni Langkat, Asahan, dan Deli ke tangan kompeni.
Wilayah laut Aceh juga menjadi sangat penting, strategis sekaligus sibuk saat Terusan Suarez dibuka oleh Ferdinand de Lessep.
Satu faktor yang paling penting dan sangat menyulut emosi warga Aceh adalah Belanda memerintahkan Aceh untuk tunduk. Petisi ini ditolak dengan tegas oleh Sultan Mahmud Syah.
Pemerintah Belanda sepertinya juga terpancing emosi. Mereka mendeklarasikan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873. Lebih dari 3.000 pasukan Belanda di bawah kendali J.H Kohler melakukan penyerbuan ke tanah Serambi Mekah.
Meskipun sudah melakukan perlawanan sekuat tenaga, akhirnya Aceh harus menyerah kepada Belanda. Sultan Alauddin Muhammad Saud Syah beserta Panglima Polem mendapat serangan dan tekanan yang teramat berat dari Belanda. Keduanya lantas menyerah. Setelahnya, Belanda bisa berkuasa penuh di Aceh.
Perang Padri
Meskipun awalnya terjadi karena adanya pertentangan dalam masalah adat, Perang Padri berubah menjadi perang yang dilakukan untuk mengusir Belanda. Perang Padri dimulai pada 1803 dan berakhir tahun 1838.
Tokoh-tokoh yang terlibat dalam perlawanan dari masyarakat Minangkabau ini adalah Nan Renceh, Tuanku Tambusai, Tuanku Imam Bonjol, dan Tuanku Rao. Tuanku Rao adalah Panglima yang paling gigih dan terkemuka. Ia sangat berambisi melibat tentara Belanda di wilayah Padang Lawas, Kotanopan, Pasaman, dan Padang Sidempuan.
Sama seperti Perang Jawa, Perang Padri juga membuat jebol kantong pemerintah kolonial dan cukup menyusahkan. Pada 11 Januari 1833, kubu pertahanan mendadak diserang oleh kaum Adat dan kaum Padri. Peristiwa itu menewaskan lebih dari 190 tentara Belanda, dan ada juga yang dari pihak pribumi.
Namun, salah satu tokoh penting yakni Tuanku Imam Bonjol berhasil ditangkap Belanda di tahun 1937 dan diasingkan ke beberapa wilayah (Cianjur, Ambon dan Minahasa) hingga akhir hayatnya.
Setahun setelah penangkapan itu, perang kembali terjadi. Kali ini Belanda lebih unggul dan berhasil merangsek masuk ke wilayah pertahanan masyarakat di Dalu-Dalu. Pemimpin rakyat Minangkabau kala itu, Tuanku Tambusai berhasil pergi ke Negeri Sembilan di Malaysia.
Lambat laun, kekuatan dan pertahanan Minangkabau pun merosot. Belanda dengan mudah menguasai wilayah ini, sekaligus menjadi tanda bahwa Perang Padri telah usai.
Diolah berbagai sumber/Ajeng Wirachmi/Litbang MPI
(Arief Setyadi )