RADEN Wijaya terus melakukan upaya demi mengumpulkan rakyat di wilayah baru Kerajaan Majapahit. Perlahan tapi pasti Raden Wijaya mulai bisa menarik hati orang-orang baru untuk menetap di Kerajaan Majapahit.
Banyak orang Daha dan Tumapel yang menetap di Majapahit. Bahkan dikisahkan oleh Slamet Muljana pada bukunya "Menuju Puncak Kemegahan : Sejarah Kerajaan Majapahit", Raden Wijaya kerap memberi penghargaan dan menaikkan pangkat rakyatnya di kerajaan yang baru ia dirikan.
BACA JUGA:Kisah 2 Istri Raden Wijaya Selama Bertahta Jadi Raja Majapahit
Raden Wijaya memilih di antara para pendatang yang menetap untuk dinaikkan pangkatnya dan dianugerahi nama baru sesuai dengan watak dan rupa mereka. Orang yang matanya membelalak diberi nama Agra Pawaka.
Orang yang kelihatannya tahu akan sastra diberi nama Suprayata, sedangkan orang yang tampaknya sangat berani dan pantas menjadi senapati perang diberi nama Jagawastra. Orang yang bergodeg lebat diberi nama Kapal Asoka, yang suaranya galak diberi nama Januwak.
BACA JUGA:Pesta Pernikahan Besar-besaran Raden Wijaya dan Gayatri, Seluruh Rakyat Majapahit Diundang
Sedangkan yang kelihatannya sangat pemberani diberi nama Sura Sampana, orang yang paling gendut, matanya bundar, diberi nama Tunjung Tutur. Orang kecil, bergodeg panjang, polatannya seram, diberi nama Wirasanta. Orang yang matanya bundar, badannya kekar kuat, tetapi pendek, diberi nama Jejaka Pidikan.
Dua orang bersaudara anak akuwu Sidabawana diberi nama Singa Anuwuk dan Singa Andaka. Orang dari Lawor, ucapannya sangat manis, tindak tanduknya sangat meresapkan hati diberi nama Parijata.
Kemudian pemuda yang berbetis keras, bergodeg dan berkumis diberi nama Carita Angsana. Seorang perempuan tani yang sudah beranak lima orang diberi nama Subiksa, sedangkan seorang perempuan muda yang berparas cantik diberi nama Rara Sindura.
Setelah itu, Raden Wijaya meninggalkan paseban. Mereka yang menghadap merasa puas karena mendapat perhatian dari Raja Majapahit Raden Wijaya. Para warga pun bubar, cara itu dapat menarik simpati dari para penghuni baru yang datang dari berbagai dusun di daerah Singasari dan Kediri.
Hal ini diperkuat dengan sikap sangat ramah para pemuda dusun. Dari uraian tersebut nyata sekali bahwa Kota Majapahit mulai dengan rumah bambu sederhana yang berpagar bambu.
(Awaludin)