Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Keterlibatan Sarwo Edhie dalam Setiap Unjuk Rasa Mahasiswa

Nadilla Syabriya , Jurnalis-Rabu, 28 September 2022 |05:56 WIB
Keterlibatan Sarwo Edhie dalam Setiap Unjuk Rasa Mahasiswa
Sarwo Edhie Wibowo (Foto: Ist)
A
A
A

Suasana makin gawat setelah mahasiswa bentrok dengan pasukan pengawal presiden, Cakrabirawa, pada 24 Februari 1966. Seorang mahasiswa, Arief Rachman Hakim, tewas. "Kami lalu minta RPKAD melatih mahasiswa," kata Fahmi Idris.

Setelah insiden itu, mahasiswa membentuk Resimen Arief Rachman Hakim-sebuah komando aksi yang sebagian anggotanya menerima pendidikan militer. "Kami juga dipinjami pistol," kata Fahmi bangga. Belakangan, nama resimen itu diganti. "Setelah diskusi dengan Pak Sarwo, beliau menyarankan namanya diganti jadi Laskar Arief Rachman Hakim saja," kata Fahmi, yang kemudian menjadi pemimpin pasukan mahasiswa itu.

Laskar Arief Rachman Hakim bergerak menduduki aset-aset negara yang dikuasai kaum komunis: dari kantor pemerintah sampai gedung kedutaan Cina dan kantor berita Xinhua. "Tapi kami tidak menjarah atau merampok," kata Fahmi. Semua aksi ini membuat Sukarno makin murka kepada mahasiswa.

Tak hanya membantu mahasiswa di balik layar, Sarwo Edhie kadang turun sendiri mengawal unjuk rasa. Sambil menyamar, dia memastikan tak ada kelompok yang mengganggu aksi-aksi mahasiswa. Para mahasiswa yang berunjuk rasa tak pernah menyadari kehadiran Sarwo Edhie.

Pada 11 Maret 1966, Soeharto memerintahkan Kemal Idris dan Sarwo Edhie menangkap Wakil Perdana Menteri Soebandrio atau seorang tokoh PKI yang juga tangan kanan Presiden Sukarno. Sebuah pasukan tanpa tanda pengenal dikirim ke Istana Merdeka untuk menyergap Soebandrio seusai sidang kabinet.

Rencana itu rupanya tercium pihak Istana. Cakrabirawa segera mengungsikan Presiden dan dua wakil perdana menteri, Soebandrio dan Chaerul Saleh, ke Istana Bogor. Malamnya, tiga jenderal menyusul ke sana: Pangdam Jaya Brigjen Amir Machmud, Brigjen M. Yusuf, dan Brigjen Basuki Rachmat.

Pada saat itulah Sukarno menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret, yang secara de facto menyerahkan kendali pemerintahan kepada Panglima Kostrad Mayjen Soeharto. Pada hari itu, dua bulan setelah pidato Sarwo Edhie di hadapan ribuan mahasiswa di Salemba, kekuasaan Sukarno resmi dilucuti.

(Khafid Mardiyansyah)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement