Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Di Era Majapahit, Pria yang Nekat Ajak Kawin Lari Perempuan Bisa Dibunuh

Avirista Midaada , Jurnalis-Selasa, 03 Januari 2023 |06:39 WIB
Di Era Majapahit, Pria yang Nekat Ajak Kawin Lari Perempuan Bisa Dibunuh
Ilustrasi Majapahit(Foto: Ist)
A
A
A

MALANG - Sistem sosial di Kerajaan Majapahit diatur sedemikian rupa, termasuk pada peraturan asmara atau percintaan. Peraturan asmara di hukum perkawinan ini pun telah diatur pada kitab undang-undang Kerajaan Majapahit yang dicantumkan pada Kakawin Nagarakretagama. Di mana, tidak seenaknya sang pria bisa jatuh cinta atau dimabuk asmara dengan wanita.

Di era Majapahit, seorang pria yang hendak melakukan perkawinan biasanya menyerahkan mahar atau tukon, enam bulan sebelum hari perkawinan yang ditentukan, yang telah ditetapkan. Hal ini dikutip dari buku "Tafsir Sejarah Nagarakertagama" dari Prof. Slamet Muljana.

BACA JUGA:Misteri Sosok Prapanca, Pujangga Terkemuka pada Masa Majapahit Keturunan Hakim Agung 

Penetapan ini dilakukan oleh orangtua perempuan dengan persetujuan orangtua pihak laki-laki. Tetapi jika orangtua perempuan tidak suka kepada calon menantunya, hal itu bisa dibatalkan. Namun, bila ada kemungkinan suatu saat sang perempuan akan dibawa lari oleh laki-laki, maka undang-undang Kutara Manawa menjadi landasan hukumnya.

Pada Pasal 177 disebutkan lelaki yang sengaja melarikan perempuan pujaan hatinya dan menyembunyikan dan menjaganya, jika diketahui orangtua perempuan bapak si perempuan itu berhak langsung membunuh sang laki-laki itu. Namun, jika keduanya kedapatan di tempat tertentu pada siang hari, bapak si perempuan tidak berhak membunuhnya.

Tetapi sang pemilik rumah yang ditempati dapat dikenakan denda dua laksa. Perkawinan dengan cara melarikan perempuan di masa Kerajaan Majapahit itu disebut perkawinan raksasa.

BACA JUGA:Ketika Gajah Mada Gagalkan Upaya Pembunuhan Raja Majapahit saat Tidur Pulas 

Selain aturan perkawinan tadi, seluk - beluk perkawinan di Kerajaan Majapahit diatur pada Kitab Arthasastra dan undang-undang Manawa mengatur delapan macam perkawinan. Pertama perkawinan brahma, perkawinan dimana warna atau kasta, pihak laki-laki sama dengan pihak perempuan dan dilakukan menurut upacara agama.

Perkawinan Daiwa, dimana seorang bapa mengawinkan anaknya dengan pendeta sebagai upah upacara. Berikutnya ketiga perkawinan Arsa, di mana tukon atau mahar berupa sapi atau kerbau.

Selanjutnya keempat, perkawinan Gandharwa, yang berupa pihak laki-laki tidak memberikan tukon dan telah melakukan persetubuhan dengan pihak perempuan secara sukarela.

Aturan kelima mengenai perkawinan disebut prajpatya, yang berupa pihak orang tua perempuan tidak menghendaki tukon atau mahar. Berikutnya, asura di mana perkawinan dilangsungkan setelah pihak orangtua gadis menerima hadiah berlimpah-limpah dari pihak laki-laki.

Status perkawinan dua terakhir yakni raksasa, yakni perkawinan yang dilakukan dengan melarikan perempuan oleh laki-laki. Sedangkan terakhir paisaca, di mana pihak perempuan dilarikan waktu sedang tidur, dalam keadaan pingsan, atau mabuk.

Sistem kekeluargaan di masa Majapahit yang berdasarkan patriarkhal dan patrilinear mengakibatkan seorang ayah mempunyai kekuasaan penuh atas anak-anaknya dari penggunaan harta benda keluarga.

(Arief Setyadi )

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement