Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Paramiliter Terus Merangsek Maju, Tentara Sudan Berjuang Keras Pertahankan Pangkalan Udara

Susi Susanti , Jurnalis-Senin, 22 Mei 2023 |11:34 WIB
Paramiliter Terus Merangsek Maju, Tentara Sudan Berjuang Keras Pertahankan Pangkalan Udara
Pasukan paramiliter terus begerak maju merebut pangkalan udara utama (Foto: Reuters)
A
A
A

SUDAN - Tentara Sudan terus berjuang melawan upaya paramiliter untuk terus merangsek maju menuju pangkalan udara utamanya di dekat ibu kota Khartoum, Sudan.

Lapangan terbang tersebut digunakan oleh militer untuk melakukan serangan udara terhadap Pasukan Pendukung Cepat (RSF), dan juga digunakan oleh pemerintah asing untuk mengevakuasi warga negara mereka di awal konflik.

Pejuang RSF dengan sekitar 20 truk ditempatkan di sebelah timur Sungai Nil, dan mencoba menyeberangi jembatan untuk mencapai lapangan udara Wadi Saeedna.

Militer Sudan membalas dengan menembakkan artileri berat.

Pertempuran telah berlangsung selama beberapa hari, tetapi telah meningkat.

"Rasanya seperti kiamat sejak awal [Minggu] pagi ini. Saya pikir mereka akan menyiksa kami sampai gencatan senjata ini berlaku," kata seorang penduduk di pinggiran Khojalab Bahri.

Militer tidak boleh kehilangan kendali atas lapangan terbang, karena ini adalah kunci strateginya untuk menggempur RSF dari udara saat berjuang untuk mendapatkan kembali kendali atas Khartoum dan dua kota lainnya.

Serangan udara juga terjadi di Omdurman pada Minggu (21/5/2023), dan ledakan terdengar di wilayah selatannya.

Pertempuran ini terjadi meskipun ada pengumuman gencatan senjata tujuh hari yang baru.

Gencatan senjata sebelumnya gagal dilakukan runtuh dalam beberapa menit setelah dibuat.

Sebuah pernyataan Amerika Serikat (AS)-Saudi mengatakan gencatan senjata terbaru akan mulai berlaku pada Senin (22/5/203) malam, dan akan berbeda karena menyediakan "mekanisme pemantauan gencatan senjata".

AS dan Arab Saudi diketahui telah menengahi pembicaraan antara tentara dan RSF di kota Saudi Jeddah selama dua minggu terakhir dalam upaya untuk mengakhiri konflik yang pecah pada 15 April lalu.

Kebanyakan orang yang diajak bicara tim BBC di Khartoum mengatakan gencatan senjata hanya akan berlaku jika pemantau internasional - yang didukung oleh penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) - dikerahkan.

Sebagai tanda kurangnya kepercayaan mereka pada kesepakatan gencatan senjata terbaru, banyak bus penduduk terus melarikan diri dari Khartoum dan kota-kota kembarnya melintasi Sungai Nil, Bahri dan Omdurman, karena pertempuran belum berhenti.

Sebelumnya, Departemen Luar Negeri AS mengakui upaya sebelumnya yang gagal dalam menengahi perdamaian di Sudan, tetapi mengatakan ada perbedaan utama kali ini.

"Tidak seperti gencatan senjata sebelumnya, kesepakatan yang dicapai di Jeddah ditandatangani oleh para pihak dan akan didukung oleh mekanisme pemantauan gencatan senjata yang didukung AS-Saudi dan internasional," katanya, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.

Militer Sudan mengatakan berkomitmen pada perjanjian itu. RSF belum berkomentar.

Kesepakatan itu juga memungkinkan pengiriman bantuan kemanusiaan.

Stok makanan, uang, dan kebutuhan pokok telah menurun dengan cepat dan kelompok bantuan berulang kali mengeluh karena tidak dapat memberikan bantuan yang memadai di Khartoum.

Baik tentara reguler maupun RSF telah didesak untuk mengizinkan distribusi bantuan kemanusiaan, memulihkan layanan penting, dan menarik pasukan dari rumah sakit.

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken juga turun tangan dengan merespon langsung di Twitter.

"Sudah lewat waktu untuk membungkam senjata dan mengizinkan akses kemanusiaan tanpa hambatan,” terangnya.

"Saya memohon kedua belah pihak untuk menjunjung tinggi kesepakatan ini - mata dunia sedang mengawasi,” lanjutya.

Perang pecah menyusul perebutan kekuasaan antara kepala militer reguler Sudan Abdel Fattah al-Burhan dan mantan wakilnya Mohamed Hamdan Daglo, yang memimpin RSF.

Ratusan orang tewas dalam pertempuran itu dan PBB telah memperingatkan situasi yang memburuk di negara terbesar ketiga Afrika itu, di mana sejumlah besar orang telah bergantung pada bantuan sebelum konflik.

Pada 11 Mei, kedua belah pihak menandatangani komitmen yang dimaksudkan untuk meletakkan dasar bagi bantuan kemanusiaan di Sudan.

Namun awal pekan ini, kepala bantuan PBB Martin Griffiths mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa telah terjadi pelanggaran "penting dan mengerikan" terhadap perjanjian itu, yang menurutnya tidak mencapai gencatan senjata.

(Susi Susanti)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement