Namun, Gatot Soebroto mengatakan bahwa Amir dan tokoh-tokoh kiri lebih baik dihabisi dari pada berisiko menyeberang ke pihak Belanda.
Tak hanya soal eksekusi Amir Sjarifuddin, Gatot Soebroto juga mencatat kontroversi saat terlibat dalam gerakan 17 Oktober 1952. Kala itu, Gatot yang menjabat Pangdam VII Makassar tak hanya dicopot jabatannya, tapi juga ditangkap oleh kepala stafnya sendiri, Letkol Joop F. Warouw.
Gerakan 17 Oktober 1952 menuntut Presiden Soekarno membubarkan parlemen, dengan memprovokasi ribuan orang untuk berdemonstrasi. Bahkan Letkol Kemal Idris, menyiapkan moncong meriam ke arah Istana Negara.
“Mereka (parlemen) atau kita (tentara) yang bubar,” seru Gatot Soebroto kala mendukung aksi 17 Oktober 1952.
Melihat keadaan semakin tak terkendali, Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel Tahi Bonar Simatupang sempat menegur para perwira TNI AD itu ketika berkumpul di Staf Umum Angkatan Darat.
“Stop! Ini sudah berbau kup (kudeta). Kritik boleh, tapi jangan kup,” cetus Simatupang dalam biografi ‘AE Kawilarang: Untuk Sang Merah Putih’.
Presiden Soekarno sendiri bertemu dengan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Abdoel Haris Nasution untuk berunding, namun menolak tuntutan dari TNI AD.
“Mataku terbakar karena marah. Engkau benar dalam tuntutanmu, akan tetapi salah dalam caranya. Soekarno takkan menyerah karena paksaan. Tidak kepada seluruh tentara Belanda dan tidak pula pada satu batalyon TNI!,” tegas Soekarno.
Buntut dari gerakan 17 Oktober 1952 ini Nasution dipecat dan dicopot dari jabatannya sebagai KSAD, begitu pun Gatot Soebroto sebagai Pangdam VII Makassar yang digantikan Warouw.
Jabatan Gatot Soebroto dalam kemiliteran kemudian dipulihkan pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap dan diberi jabatan Wakil Kepala Staf TNI AD.
Jenderal Gatot Soebroto wafat karena serangan jantung pada 11 Juni 1962.
(Fakhrizal Fakhri )