JAKARTA - Jenderal Gatot Soebroto merupakan salah seorang tokoh besar TNI yang tak lepas dari kontroversi. Pria kelahiran 10 Oktober 1907 itu memiliki beberapa catatan hitam selama berkarier di TNI, termasuk perintahnya untuk mengeksekusi mantan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin, hingga terlibat gerakan 17 Oktober 1952.
Dikutip dari buku ‘Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia’, pada 18 Desember 1948, Gatot Soebroto, yang kala itu berpangkat kolonel memerintahkan anak buahnya mengeksekusi Amir Sjarifuddin tanpa diadili.
Eksekusi terhadap Amir Sjarifuddin dan antek-antek golongan kiri, pasca-pemberontakan PKI Madiun itu, dilakukan di hari yang sama ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II ke Yogyakarta.
Eksekusi itu dilakukan Gatot Soebroto meski kendati Presiden Soekarno tak menghendakinya.
Setelah penangkapannya pada 29 November 1948, Amir Sjarifuddin dibawa ke Yogyakarta dan ditahan di Benteng Vredeburg.
Kala itu Soekarno sempat menyatakan permintaan agar Amir tidak dihukum mati. Sementara dalam buku ‘Madiun 1948: PKI Bergerak’, Wakil PM Mohammad Hatta minta Amir dan kawan-kawannya diajukan ke muka pengadilan.
“Saya sudah bilang untuk menahan mereka semua dan membawa mereka ke pengadilan,” seru Hatta kala itu seperti dikutip dalam buku ‘Indonesia Free: A Political Biography of Mohammad Hatta’.
Namun, Gatot Soebroto mengatakan bahwa Amir dan tokoh-tokoh kiri lebih baik dihabisi dari pada berisiko menyeberang ke pihak Belanda.
Tak hanya soal eksekusi Amir Sjarifuddin, Gatot Soebroto juga mencatat kontroversi saat terlibat dalam gerakan 17 Oktober 1952. Kala itu, Gatot yang menjabat Pangdam VII Makassar tak hanya dicopot jabatannya, tapi juga ditangkap oleh kepala stafnya sendiri, Letkol Joop F. Warouw.
Gerakan 17 Oktober 1952 menuntut Presiden Soekarno membubarkan parlemen, dengan memprovokasi ribuan orang untuk berdemonstrasi. Bahkan Letkol Kemal Idris, menyiapkan moncong meriam ke arah Istana Negara.
“Mereka (parlemen) atau kita (tentara) yang bubar,” seru Gatot Soebroto kala mendukung aksi 17 Oktober 1952.
Melihat keadaan semakin tak terkendali, Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel Tahi Bonar Simatupang sempat menegur para perwira TNI AD itu ketika berkumpul di Staf Umum Angkatan Darat.
“Stop! Ini sudah berbau kup (kudeta). Kritik boleh, tapi jangan kup,” cetus Simatupang dalam biografi ‘AE Kawilarang: Untuk Sang Merah Putih’.
Presiden Soekarno sendiri bertemu dengan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Abdoel Haris Nasution untuk berunding, namun menolak tuntutan dari TNI AD.
“Mataku terbakar karena marah. Engkau benar dalam tuntutanmu, akan tetapi salah dalam caranya. Soekarno takkan menyerah karena paksaan. Tidak kepada seluruh tentara Belanda dan tidak pula pada satu batalyon TNI!,” tegas Soekarno.
Buntut dari gerakan 17 Oktober 1952 ini Nasution dipecat dan dicopot dari jabatannya sebagai KSAD, begitu pun Gatot Soebroto sebagai Pangdam VII Makassar yang digantikan Warouw.
Jabatan Gatot Soebroto dalam kemiliteran kemudian dipulihkan pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap dan diberi jabatan Wakil Kepala Staf TNI AD.
Jenderal Gatot Soebroto wafat karena serangan jantung pada 11 Juni 1962.
(Fakhrizal Fakhri )