Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Legenda Makam Gantung Patih Djojodigdo, Pemilik Pecut Sakti yang Konon Tidak Bisa Mati

Rahman Asmardika , Jurnalis-Selasa, 27 Juni 2023 |07:01 WIB
Legenda Makam Gantung Patih Djojodigdo, Pemilik Pecut Sakti yang Konon Tidak Bisa Mati
Makam gantung Patih Djojodigdo di Kota Blitar. (Foto: SINDOnews/Solichan Arif)
A
A
A

JAKARTA – Legenda Patih Djojodigdo dan pecut Samandiman berkembang di masyarakat Blitar pasca letusan dahsyat Gunung Kelud pada 1901. Konon, lecutan pecut sakti Patih Djojodigdo pernah menyelamatkan masyarakat Kadipaten Blitar dari amukan lahar Gunung Kelud.

Cerita tentang kesaktian Patih Djojodigdo ini diyakini kebenarannya oleh banyak orang, sehingga pasca letusan Gunung Kelud pada 1901 itu, masyarakat selalu mengungsi ke Pesanggrahan Patih Djojodigdo ketika Gunung Kelud meletus. Ini terjadi pada erupsi Gunung Kelud pada 1919, 1965, dan 1990.

Mereka percaya bahwa lahar Gunung Kelud takut pada Patih Djojodigdo. Sang patih juga konon rutin menggelar ritual rampogan macan, sebagai tolak balak amukan Gunung Kelud.

Pesanggrahan Patih Djojodigdo merupakan pemakaman dari Patih Djojodigdo. Makam ini berada di Jalan Melati No. 43 Kota Blitar.

Patih Djojodigdo adalah patih Kadipaten Blitar yang memiliki nama Raden Mas Ngabehi Pawadiman Djojodigdo atau Eyang Djojodigdo. Patih Djojodigdo memilki pecut sakti Samandiman yang mampu mengusir lahar Gunung Kelud dan dipercaya memiliki kesaktian lainnya.

Pawadiman Djojodigdo lahir 28 Juli 1827 di Kulon Progo, Yogyakarta di tengah berkecamuknya Perang Jawa antara Pangeran Diponegoro dengan VOC. Ayah Djojodigdo adalah Adipati Nggetan, Kulon Progo, Raden Mas Tumenggung (RMT) Kartodiwirjo yang turut berperang bersama Pangeran Diponegoro.

Pasca penangkapan Pangeran Diponegoro oleh VOC, Kartodiwirjo menjadi buruan kompeni. Saat itu Pawadiman Djojodigdo masih berusia belasan tahun.

Pawadiman Djojodigdo menempa diri dengan menempuh laku riyadhoh (tirakat) serta berkelana, berguru pada orang–orang yang memiliki kemampuan spiritual. Salah satu guru spiritual Pawadiman Djojodigdo adalah Raden Mas Suryo Diatmojo, putra Kiai Zakaria, ulama besar Kraton Yogyakarta, yang juga dikenal sebagai Eyang Jugo atau Mbah Jugo.

Mbah Jugo juga salah satu pimpinan pasukan laskar Diponegoro, yang terpaksa menyamar untuk menghindari kejaran. Nama Jugo ia peroleh saat masih bermukim di Desa Jugo, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar.

Mendengar Blitar merupakan wilayah yang rawan dengan banyak begal dan perampok sakti berkeliaran, Pawadiman Djojodigdo menawarkan diri pada Bupati Blitar, Kanjeng Adipati Warso Koesoemo untuk mengatasi gangguan tersebut.

Tawaran itu pun diterima oleh Adipati Warso Koesoemo. Djojodigdo dikenal memiliki ajian Pancasona sehingga membuat para begal ketakutan dan menyingkir. Ajian Pancasona dalah kesaktian tingkat tinggi, yang konon membuat pemiliknya tak bisa dibunuh dan bisa hidup lagi.

Atas keberhasilannya mengamankan Blitar, Kanjeng Adipati Warso Koesoemo pada September 1877.

Patih Djojodigdo mangkat pada 11 Maret 1909, dan dimakamkan di pesarean Djojodigdan yang saat ini terdapat 125 makam. Sebuah keranda mayat berukir berada di atas pusara Eyang Djojodigdan. Empat tiyang besi menyangganya. Hal itu yang membuat Pesarean Djojodigdan juga memiliki sebutan Pesarean Makam Gantung.

Sebutan makam gantung, merujuk pada kepercayaan jasad pengamal Ajian Pancasona akan hidup kembali saat menyentuh tanah. Namun, menurut penjaga pemakaman, di dalam keranda yang tergantung tersebut berisi pusaka, pakaian atau ageman Eyang Djojodigdo.

(Rahman Asmardika)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement