Isi teks menggambarkan penderitaan rakyat di bawah pemerintahan Jepang dan sekaligus untuk menyatakan rakyat Indonesia menolak menjadi barang inventaris yang diserahkan dari tangan pemerintahan kolonial satu ke tangan pemerintahan kolonial yang lain.
Teks dirancang tidak untuk mengisolasikan unsur-unsur pro Jepang, tetapi untuk membangkitkan rakyat.
“Teks itu, menurut Sjahrir adalah anti Jepang bukan anti Belanda,” tulis Rudolf Mrazek dalam ‘Sjahrir Politik dan Pengasingan di Indonesia’.
Dalam perjalanannya, teks proklamasi kemerdekaan karangan Sjahrir lantas tidak jelas nasibnya. Sutan Sjahrir sendiri tidak menyimpan salinannya. Begitu pula dengan Des Alwi, anak angkat Sjahrir asal Banda Neira juga mengaku tidak ingat lagi isi dari teks proklamasi tersebut.
Dr Soedarsono, pemimpin Pendidikan di Cirebon mengaku pernah melihat teks proklamasi karangan Sjahrir tersebut. Namun ia tak mampu mengingat seluruh isinya. Yang bisa diingat, teks proklamasi itu memuat kata-kata aneh dan manis seperti masyarakat demokratis.
Sementara dikutip dari Soekarno Biografi 1901-1950, Lambert Giebels menulis teks proklamasi kemerdekaan karangan Sutan Sjahrir sempat didiskusikan di rumah Laksamana Maeda pada malam 16 Agustus 1945.
Namun teks itu langsung dibuang karena dinilai terlalu radikal bagi mereka yang mengedepankan kehati-hatian.
“Teks ini sifatnya terlampau anti Jepang, bagi para pemuda kurang anti Belanda,” tulis Lambert Giebels.
Sejarah kemudian mencatat, teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang disusun di rumah Laksamana Maeda sebagian besar didiktekan Bung Hatta, dicatat oleh Soekarno dan disepakati bersama.
Teks Proklamasi Kemerdekaan yang lalu diketik Sayuti Melik dengan tergesa-gesa itu, pada 17 Agustus 1945 dikumandangkan Soekarno-Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
(Qur'anul Hidayat)