PEMBANTAIAN terhadap orang-orang yang dituduh sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) terjadi di banyak wilayah Indonesia, pasca-peristiwa G30S PKI. Pembantaian itu jadi duka kemanusiaan yang mendalam karena banyak masyarakat tak bersalah yang menjadi korban.
Tergerak menyuarakan keadilan, Soe Hok Gie lantas memprotes keras terjadinya pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI tahun 1965-1966. Meski mengkritik, Gie menegaskan dia bukanlah membenarkan apa yang dilakukan oleh PKI.
Mengutip Sindonews, Soe Hok Gie juga turun ke lapangan dan mengumpulkan data-data mengenai hal tersebut yang kemudian ditulis menjadi dua serial artikel dengan nama samaran Dewa. Tulisannya sangat tajam, dan kaya akan detail di lapangan.
Artikel Gie tentang pembantaian massal itu pertama kali diturunkan oleh Mahasiswa Indonesia Jawa Barat, pada Minggu II Desember dan Minggu III Desember 1967, dengan judul "Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Pulau Bali."
Dalam laporannya, Gie menyatakan, tulisannya itu bukan untuk membela PKI atau membenarkan cara-cara yang PKI lakukan saat menghancurkan lawan-lawan politiknya. Pembelaan Gie ditujukan kepada penegakan hukum, keadilan dan kemanusiaan.
Dalam keseimpulannya, Soe Hok Gie menyatakan, pemerintah dan pejabat terkait telah membiarkan pembantaian-pembantaian di Bali terjadi berlarut-larut hingga menimbulkan korban jiwa yang sangat banyak dari kalangan rakyat tidak berdosa. Para pejabat-pejabat setempat tidak melakukan apa-apa dalam peristiwa itu. Bahkan dalam banyak kasus, justru merekalah yang memulai dan memberi contoh kepada rakyat untuk melakukan penyembelihan-penyembelihan sangat keji tersebut.
Selain di Bali, Soe Hok Gie juga menyorot kasus pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI di Purwodadi, Jawa Tengah. Dia bahkan terjun langsung ke lapangan dan melihat sendiri bagaimana amuk massa berlangsung sangat mengerikan saat itu.
Untuk mencegah lebih banyak korban, Soe Hok Gie banyak melakukan tindakan advokasi untuk penghentian tindakan-tindakan di luar batas kemanusiaan tersebut. Dia juga banyak melakukan kontak dengan para pejabat militer di daerah dan pusat.
Simpati Soe Hok Gie tidak hanya kepada para korban pembantaian massal, tetapi juga terhadap para tahanan 1965 dan stigma yang dilekatkan kepada mereka. Berbagai peristiwa ini rupanya membuat Soe Hok Gie merasa sangat dihantui.
"Tentang nasib tahanan 65, saya juga sedang dihantui oleh problem lain. Yaitu sejumlah akibat dari pembunuhan massal di Jawa Tengah, dan Jawa Timur, serta Bali terdahulu. Jumlah yang dibunuh atas nama Pancasila kira-kira 300 ribu," katanya.
Sedangkan mereka yang menjadi korban dari peristiwa itu, menurut perkiraannya mencapai angka satu juta orang. Jumlah itu termasuk anak-anak yang tidak tahu apa-apa, tetapi dimusuhi oleh masyarakat, dan akan menjadi pembenci masyarakat. Terlebih setelah Gie membaca surat pembaca Kompas pada 24 April 1969 tentang perlunya surat G30S atau Surat Tanda Bukti Tidak Terlibat Gestapu untuk anak-anak SD Kelas V dan VI.
Perlu diketahui, untuk membuat surat itu tidak gratis. Menurut Gie, para siswa SD itu tidak tahu apa-apa tentang G30S dan komunisme. Bahkan dari 22 juta PKI yang klaim sebagai anggota, hanya beberapa ribu saja yang mengerti Marxisme-Leninisme. Sedangkan sisanya banyak yang ikut-ikutan saja.
Dengan tegas Soe Hok Gie mengatakan, mereka yang benar-benar terlibat G30S harus ditindak tegas. Tetapi kepada mereka yang hanya ikut-ikutan PKI harus dikembalikan kepada masyarakat, tanpa memakai surat bebas G30S yang memberi stigma buruk.
Selain memperlihatkan keprihatinannya yang besar terhadap anggota dan simpatisan PKI yang menjadi korban penangkapan, penyiksaan, dan pembantaian massal, Soe Hok Gie juga banyak mengkritisi pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto
Sikap kritis Gie terhadap pemerintah Orde Baru yang ikut dibidaninya juga bagian dari bentuk kontradiksi pria kelahiran 17 Desember 1942 ini. Menurutnya, Orde Baru telah bertindak di luar batas dengan berusaha mengontrol pemikiran masyarakat. Sejak 1 Oktober 1965 hingga 6 Desember 1965, semua dokumentasi buku telah musnah dibakar. Termasuk 5.000 judul buku dan beberapa ton koleksi surat kabar Pramoedya Ananta Toer yang dia kumpulkan atas jerih payah sendiri selama 15 tahun.
(Qur'anul Hidayat)