BAGI yang terbiasa dengan kehidupan yang rukun damai dan guyub, tentu sulit untuk membayangkan bagaimana sebuah rumah sakit di Gaza yang dalam kondisi penuh dengan pasien diserang dan dibombardir bertubi tubi dari udara. Kejadian pada Selasa (17/10/2023) itu akan menjadi catatan khusus kejahatan kemanusiaan karena ratusan orang yang sedang sakit tewas bersimbah darah dan tewas ditempat.
Bagi yang selamat mereka harus melarikan diri sejauh jauhnya dari rumah sakit - walaupun dia dalam keadaan sakit atau terluka sebagai pasien rawat inap. Sementara Israel dan Hamas sebagai pihak yang saling menyerang dan sebagai pembantai.- jangankan mengambil langkah menghentikan sementara, justru mereka asik dengan saling salah menyalahkan di media dan media sosial.
Mereka saling tuding dan saling tantang. Hamas menyesalkan serangan biadab atas rumah sakit. Sedangkan Israel menyalahkan serangan roket palestina yang konon katanya gagal menarget dan membombardir sasaran dengan tepat, yang berakibat pada 500-an korban tewas.
Banyak pihak yang menyesalkan, dan lebih ironis lagi bahwa saling serang Hamas dan Israel ini justru dilakukan bersamaan dengan saat kunjungan Presiden AS Joe Biden menuju ke Timur Tengah dalam upaya menghentikan meluasnya peperangan. Menteri luar negeri Yordania akhirnya menegaskan bahwa negaranya terpaksa membatalkan pertemuan puncak regional di kota Amman yang dijadwalkan pada akan digelar pada Rabu (18/10/2023), dimana sejatinya Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden akan menggelar pertemuan penting dengan Raja Yordania Abdullah II, Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sissi. "Perang antara Israel dan Hamas semakin mendorong kawasan ini ke jurang kehancuran", kata Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi kepada televisi pemerintah setempat.
"Yordania akan menjadi tuan rumah KTT hanya jika semua orang sepakat bahwa tujuan kegiatan adalah untuk menghentikan perang,” lanjutnya.
Selain situasi diatas - masih ada lagi situasi lain yang lebih mengerikan tentang sikap dan perlakuan rumah sakit terhadap pasien, tentang tugas dan norma moral sebuah rumah sakit dimana secara universal di seluruh dunia bahwa melayani orang sakit apalagi dalam kondisi parah adalah "kewajiban" mendasar sebuah rumah sakit.
Tetapi di sebuah Rumah Sakit di Universitas Hadassah di Yerusalem, ada kasus dimana rumah sakit dengan tegas menolak untuk merawat pasien - seorang.anggota Hammas tertangkap dalam keadaan terluka parah pada malam Selasa (17/10/2023) lalu.
Masih menurut pihak rumah sakit, pejabat keamanan setempat sebetulnya telah berusaha dan mencoba membujuk Rumah sakit untuk menerima pria yang ditangkap pasca serangan Hamas di selatan Israel pada malam hari tersebut.
Namun menurut perugas di rumah sakit, keputusan menolak diambil karena konteks melaksanakan perawatan pengobatan dan tindakan medis akan menyinggung ‘Rasa nasionalisme”.
Rumah sakit juga merasa bahwa memperlakukan teroris Hamas dengan cara merawat - saat ini adalah tindakan yang paling salah. Sampai saat ini rumah sakit masih merawat lebih dari 130 orang yang terluka dari wilayah selatan, namun seluruh keluarga mereka harus tetap berada di dalam bangsal.
Dalam sebuah pernyataan, rumah sakit juga mengatakan bahwa mereka belum dan tidak akan memberikan perawatan apa pun kepada teroris mana pun yang terlibat dalam perang tersebut. Pengumuman Rumah sakit Hadassah ini menyusul pengumuman Menteri Kesehatan Moshe Arbel pekan lalu tentang kebijakan yang menyatakan bahwa rumah sakit secara umum tidak akan menerima teroris.
Bentrokan demi bentrokan masih menghiasi derita Gaza. Pada Selasa (17/10/2023), terjadi bentrokan di perbatasan Lebanon dan Israel. Lima pejuang Hizbullah tewas ditempat, sehingga terhitung sejak bentrok di Gaza korban meninggal sudah 10 orang. Kepala staf militer Israel Herzi Halevi ikut merilis media menebar ancaman bahwa Israel akan membalas secara agresif jika Hizbullah meningkatkan serangannya.
“Jika hisbullah salah maka mereka akan dimusnakan,” kata Halevi didepan pasukannya yang ada di perbatasan
Sementara Amerika Serikat sebagai sahabat dekat negara Israel pada hari Rabu 18 Oktober 2023 lalu telah pula memberikan sanksi kepada 10 anggota Hamas dan jaringan keuangan organisasi militan Palestina diberbagai tempat.
Seperti di Gaza, Sudan, Turki, Aljazair dan Qatar. Ini adalah bentuk respon atas serangan terhadap Israel yang menyebabkan lebih dari 1.000 orang tewas dan diculik. Sasaran sanksi oleh Kantor Pengawasan Aset Luar Negeri Departemen Keuangan AS ini adalah anggota yang mengelola portofolio investasi Hamas, fasilitator keuangan yang berbasis di Qatar yang memiliki hubungan dekat dengan rezim Iran, komandan Hamas, dan pertukaran mata uang virtual yang berbasis di Gaza.
Menteri Keuangan Janet Yellen mengatakan AS akan mengambil tindakan cepat dan tegas untuk menargetkan penyandang dana dan fasilitator Hamas menyusul pembantaian brutal dan tidak berperikemanusiaan terhadap warga sipil dan anak anak di Israel.
Dalam sebuah pernyataan melalui surel email, disampaikan juga bahwa Departemen Keuangan AS memiliki sejarah dan pengalaman panjang dalam menangani pendanaan teror dan tidak pernah akan ragu untuk menggunakan teknologi kekinian untuk melawan Hamas.
Sanksi tersebut adalah sanksi finansial yang bertujuan untuk memblokir seluruh akses teroris.
Sampai kapan kekerasan ini akan berakhir dan siapa yang akan memulai?
Memang bukan perkara mudah untuk menekan, mengajak dialog dua intitas kelompok yang secara bebuyutan sudah merupakan musuh permanen ini. Diperlukan kekuatan besar yang efektif dan mampu menekan, memediasi, dan juga mencari jalan tengah penyelesaian konflik ditengah perang berdarah yang telah menewaskan ratusan bahkan ribuan nyawa ini.
Apakah Indonesia mampu ambil bagian? Jawabannya - mungkin bisa - karena sistem politik Indonesia adalah bebas aktif non partisan terbuka dan masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang unik, dimana mayoritas penduduknya beragama islam yang mampu bergandengan dengan berbagai intitas dan agama yang berbeda beda, yang berasal dari beraneka suku ras dan budaya yang berbeda.
Tapi, tentu Indonesia tidak bisa sendiri dan arus bekerja kolaboratif. Indonesia cukup menjadi sub sistem dan bagian " peace keeper " dan "pemrakarsa perdamaian yang efektif yang memberikan konsepsi cara damai. Kenapa? Indonesia tidak bisa menjadi “peace keeper leading sector" karena Indonesia tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel.
Yang paling memungkinkan adalah bila Indonesia ikut urun rembuk memikirkan jalan tengah konflik. Timbul jugapertanyaan lain, Pernahkah Indonesia diajak terlibat dalam urusan regional seperti itu? Jawabannya, pernah. Bahkan beberapa kali Indonesia ikut "working group forum" dengan menjadi nara sumber bagi sebuah konflik kawasan. Penulis bahkan pernah menjadi pembicara dalam pembahasan perdamaian Bokoharam dalam " Aqaba Process Forum " di Jordania dan di Nigeria.
Perdamaian bisa terwujud dengan kerjasama dan berkolaborasi, serta adanya keinginan bersama untuk hidup damai bergandengan tangan.
Ayolah kita menjadi orang orang yang penuh kedamaian dan cinta kasih sesama umat manusia.
Mantan Direktur Pencegahan dan Deputi Bidang Kerja Sama Internasional BNPT Irjen Pol (Purn) Hamidin Aji Amin
Pengamat Terorisme
(Susi Susanti)