Perstiwa itu terjadi setelah Sunan Amangkurat III menganiaya Adipati Martawangsa, karena salah paham. Adipati itu konon dikebiri oleh Sunan Amangkurat III hingga tak sadarkan diri. Mengetahui pimpinannya dianiaya oleh Sunan Amangkurat III, rakyat Pranaga marah besar.
Untung Surapati pun membantu pasukan Sunan Amangkurat III yang mendengar diserang oleh tentara gabungan di Bangil. Dengan kuda Kiai Pakeling, Untung Surapati beserta pasukannya membelah barisan pasukan gabungan Sampang, Surabaya, dan tentara kompeni Belanda. Petang tanding antara kedua pasukan besar itu pun mengerikan.
Dalam sekejap mata, banyak prajurit yang tewas dalam perang di Bangil. Tak hanya prajurit - prajurit dari pasukan gabungan Pasuruhan dan Bali, tetapi pasukan gabungan Sampang, Surabaya, dan tentara kompeni.
Mereka menjadi tumbal perang saudara antara Sunan Amangkurat III dan Sunan Pakubuwana. Betapa cerdasnya pasukan gabungan Sampang, Surabaya, dan kompeni, untuk menaklukkan pasukan Pasuruhan dan Bali, dengan memisahkan Untung Surapati dari pasukannya.
Hingga pada tahun 1706, VOC menggerakkan armada perang ke Pasuruan. Dalam pertempuran sengit di Bangil tanggal 17 Oktober 1706, Untung Surapati terluka parah dan gugur sebagai Kusuma bangsa. Sepak terjang Untung Surapati berkali-kali membuat Pemerintah Hindia Belanda Murka. Perjalanan hidup Untung Surapati sangat heroik dan melegenda. Sehingga pemerintah melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia tertanggal 3 Nopember 1975, menganugrahkan Untung Surapati sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia.
(Rani Hardjanti)