Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Jejak DN Aidit, Gembong PKI yang Dieksekuti Mati

Arief Setyadi , Jurnalis-Rabu, 22 November 2023 |05:15 WIB
Jejak DN Aidit, Gembong PKI yang Dieksekuti Mati
DN Aidit (Foto: Ist)
A
A
A

JAKARTA - Dipa Nusantara Aidit lahir pada 30 Juli 1923 dan dikabarkan meninggal pada 22 November 1965. Ia merupakan seorang politikus komunis Indonesia yang memegang jabatan sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Indonesia (PKI) dari 1951 hingga masa eksekusinya selama tragedi pembantaian di Indonesia pada tahun 1965-1966.

Melansir dari beragam sumber, Aidit, yang lahir dengan nama Achmad Aidit di Pulau Belitung, sering disapa dengan sebutan "Amat". Awal kehidupannya diwarnai oleh sistem pendidikan kolonial Belanda.

Ayahnya, Abdullah Aidit, pernah memimpin gerakan pemuda melawan kekuasaan kolonial Belanda di Belitung. Setelah kemerdekaan Indonesia, Abdullah Aidit menjadi anggota DPRS yang mewakili rakyat Belitung.

Selain itu, ia mendirikan perkumpulan keagamaan "Nurul Islam", yang memiliki afiliasi dengan Muhammadiyah.

Ibunya, Mailan, berasal dari keluarga ningrat Belitung, sebagai putri dari Ki Agus Haji Abdul Rachman dan Nyayu Aminah. Ki Agus dikenal sebagai pionir di kampung Batu Itam dan pemilik tanah yang luas.

Meskipun asal-usul Aminah masih belum jelas, sumber sekunder menyebutkan bahwa leluhur ibu Aidit berasal dari Nagari Maninjau, Sumatera Barat.

Aidit adalah anak sulung dari empat bersaudara. Ayahnya meninggal saat Aidit masih kecil, sehingga ia dibesarkan oleh ayah tirinya. Aidit memiliki dua saudara tiri, yaitu Asahan dan Sobron.

Setelah menyelesaikan pendidikan HIS di Bangka, Aidit berpindah ke Jawa dan tinggal bersama keluarga Isa Anshari di Bandung. Hubungan mereka tetap terpelihara, meskipun kelak mereka menjadi lawan politik.

Aidit bahkan pernah memberikan buku tentang komunisme kepada putra sulung Isa Anshary, Endang Saifuddin Anshari. Ketika mencapai usia dewasa, Achmad Aidit mengubah namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit.

Keputusan ini disampaikannya kepada ayahnya, yang memberikan persetujuan tanpa ragu.

DN Aidit terlibat aktif dalam PKI. Menukil wikipedia, karier politiknya bermula pada 1940, DN Aidit mendirikan perpustakaan "Antara" di daerah Tanah Tinggi, Senen, Jakarta Pusat. Bersama dengan teman seindekosnya, Mochtar, mereka juga memulai usaha penjahitan yang diberi nama "Antara".

Tempat ini menjadi pusat strategis bagi para aktivis pada masa itu, termasuk tokoh-tokoh ternama seperti Adam Malik dan Chaerul Saleh. Sejumlah seniman yang dikenal dengan sebutan seniman Senen juga sering berkumpul di sini, terutama mereka yang berasal dari Minangkabau dan aktif berjualan serta membuka restoran.

Setelah itu, Aidit melanjutkan pendidikannya di Sekolah Dagang ("Handelsschool"). Di sana, ia mendalami teori politik Marxis melalui Perhimpunan Demokratik Sosial Hindia Belanda, yang kemudian berganti nama menjadi PKI.

Selama terlibat dalam aktivitas politik, Aidit menjalin pertemanan dengan tokoh-tokoh yang kelak memainkan peran kunci dalam politik Indonesia. Awalnya, Mohammad Hatta memberikan harapan besar dan kepercayaan pada Aidit, menjadikannya anak didik kesayangan Hatta.

Namun, perbedaan ideologi politik akhirnya membawa keduanya berpisah arah. Meskipun Aidit adalah seorang Marxis dan anggota Komunis Internasional (Komintern), ia menunjukkan dukungan terhadap paham Marhaenisme Sukarno dan memilih membiarkan PKI berkembang tanpa mengejar kekuasaan.

Sebagai imbalan atas dukungannya terhadap Sukarno, Aidit berhasil menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PKI dan kemudian sebagai Ketua.

Di bawah kepemimpinannya, PKI berkembang menjadi partai komunis terbesar ketiga di dunia, setelah Uni Soviet dan Tiongkok. Aidit aktif mengembangkan program-program untuk berbagai kelompok masyarakat, seperti Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lekra, dan lainnya.

Pada kampanye Pemilu 1955, Aidit dan PKI berhasil meraih banyak pengikut dan dukungan karena program-program pro-rakyat yang mereka tawarkan di Indonesia. Dalam dasawarsa berikutnya, PKI menjadi kekuatan penyeimbang terhadap unsur unsur konservatif di antara partai-partai politik Islam dan militer.

Pengakhiran sistem parlementer pada tahun 1957 semakin meningkatkan peran PKI, terutama karena kekuatan ekstra-parlementer yang mereka miliki. Koneksi dekat Aidit dan pimpinan PKI dengan Presiden Sukarno menjadikan PKI sebagai organisasi massa yang sangat berpengaruh di Indonesia.

Hingga pada 1965, PKI menjadi salah satu partai politik terbesar di Indonesia dan semakin menunjukkan keberaniannya dalam bersikap terhadap kekuasaan.

Kejadian bersejarah terjadi pada 30 September 1965 dengan penculikan dan pembunuhan enam jenderal TNI AD dan seorang perwira. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Peristiwa G30S.

Aidit dianggap sebagai otak di balik peristiwa tersebut dan akhirnya dihukum mati oleh militer. Terdapat beberapa versi tentang kematian DN Aidit. Versi pertama menyebutkan bahwa Aidit tertangkap di Jawa Tengah, dibawa batalyon Kostrad ke Boyolali, dan kemudian dieksekusi di dekat sebuah sumur setelah memberikan pidato yang membangkitkan emosi para tentara.

Namun, ada versi lain mengatakan bahwa ia diledakkan bersama-sama dengan tempat tahanannya. Namun, hingga saat ini, lokasi pemakaman jenazahnya tetap tidak diketahui.

(Arief Setyadi )

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement