MYANMAR - Pengungsi Rohingya telah menetap di kamp-kamp Bangladesh sejak melarikan diri dari Myanmar. Hal ini dikarenakan pemerintah menganggap Rohingya sebagai 'imigran gelap' dari Bangladesh, serta adanya sejarah kelam terkait Rohingya dan Inggris, yang melakukan perlawanan ke Myanmar dan Jepang.
Serangkaian serangan maupun sindikat perdagangan manusia telah dialami pengungsi Rohingya. Pada 2017, Rohingya telah menjadi subjek penyelidikan genosida di pengadilan tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Melansir TBS News, sama halnya dengan anggota kamp, dua pemimpin atau Majhi Rohingya mengalami kekerasan hingga merengut nyawa. Kejadian ini diungkapkan oleh juru bicara polisi, Faruk Ahmed. Ia mengungkapkan kejadian tersebut merupakan serangan terburuk dalam beberapa bulan terakhir.
Faruk Ahmed mengatakan bahwa sebelum insiden tersebut, Yunus dan Anwar sedang berbicara dengan beberapa orang di depan sebuah toko lokal di Blok A-18 Kamp Tanzimarkhola Rohingya No. 19 di Ukhia pada Sabtu malam.
Saat itu kelompok penjahat menyergap mereka dengan senjata tajam. Yunus diketahui tewas di tempat, sedangkan Anwar meninggal usai dibawa ke Rumah Sakit MSF Kutupalangstha pada pukul 9 malam.
Sejak kejadian tersebut, polisi melakukan operasi untuk mengidentifikasi dan menangkap pihak-pihak yang terlibat pada insiden tersebut. Faruk mengatakan jenazah sedang dikirim dan diautopsi ke Rumah Sakit Sadar Distrik Cox's Bazar.
Polisi penjaga keamanan kamp tersebut menyalahkan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) atas insiden pembunuhan tersebut. Ia menganggap pembunuhan ini ditargetkan oleh ARSA dan berdampak pada keamanan kamp tersebut.
Kelompok tersebut terlibat perang wilayah sejak lama, yang terlibat dalam pengendalian perdagangan narkoba, yang berpusat pada pil metamfetamin yaba. Kepala Polisi Distrik Cox's Bazar, Bangaldesh mengatakan bahwa terjadi peningkatan eskalasi.
(Susi Susanti)