Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Kisah Mpu Sindok dan Selirnya Bangun Tiga Bendungan dan Jaga Bangunan Suci

Avirista Midaada , Jurnalis-Kamis, 11 Januari 2024 |05:54 WIB
Kisah Mpu Sindok dan Selirnya Bangun Tiga Bendungan dan Jaga Bangunan Suci
Kisah Mpu Sindok dan Selirnya/ist
A
A
A

JAKARTA - Perintah pembangunan di masa Kerajaan Mataram kuno era Mpu Sindok, konon tak hanya datang dari sang raja saja. Bahkan dikisahkan permaisuri atau seorang selir Raja Mpu Sindok konon pernah memerintahkan pembangunan tiga bangunan bendungan.

Bangunan bendungan ini tercantum dalam Prasasti Wulig tahun 856 Saka atau sama dengan 935 Masehi. Di dalam Prasasti Wulig itu disebutkan perintah Rakryan Binihaji Rakryān Mangibil, permaisuri atau salah seorang selir Pu Sindok, kepada Samgat Susuhan agar memerintahkan penduduk Desa Wulig, Pangiketan, Padi Padi, Pikatan, Panghawaran, dan Busuran untuk membuat bendungan.

Menariknya dalam perintahnya itu permaisuri Mpu Sindok memperingatkan jangan ada yang berani mengusik atau mengganggu pembangunan dan selama beroperasi, dengan menyatukan bendungan tersebut. Tak hanya itu, peringatan agar penduduk sekitar tidak mengambil ikan di bendungan tersebut sewaktu siang juga menjadi isi dari prasasti tersebut.

Dikutip dari "Sejarah Nasional Indonesia II : Zaman Kuno" pada tanggal 8 Januari 935 M, Rakryan Binihaji meresmikan ketiga bendungan yang ada di Desa Wuatan Wulas dan Wuatan Tamya. Nama permaisuri Mpu Sindok ini pun muncul pula di dalam prasasti Géwég tahun 855 Saka atau sama dengan 933 M dan prasasti Cunggrang tahun 851 Saka atau sama dengan 929 M.

Di dalam prasasti Geweg itu Mpu Sindok tidak memakai gelar mahārāja, tetapi rakryan sri mahamantri dan sang permaisuri disebut Rakryan Sri Parameswari Sri Warddhani pu Kbi. Di dalam prasasti Cunggrang sang permaisuri disebut Rakyan Binihaji Sri Parameswari Dyah Kbi. Tapi ada tafsiran dari sejarawan Stutterheim yang berpendapat, tokoh Rakryan Binihaji, bukanlah permaisuri Mpu Sindok, melainkan neneknya.

Akan tetapi, karena kata kbi itu didahului oleh pu dan dyah, yang biasa mendahului nama orang, agak sulit menerima tafsiran Stutterheim itu. Sebab di sini lebih condong untuk menerimanya sebagai permaisuri atau rakryan binihaji parameswari, yang namanya Pu atau Dyah Kebi.

Halaman:
      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement