Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Khutbah Idul Fitri Din Syamsuddin, Soroti Demoralisasi Terselebung dan Oligarki

Qur'anul Hidayat , Jurnalis-Kamis, 11 April 2024 |08:19 WIB
Khutbah Idul Fitri Din Syamsuddin, Soroti Demoralisasi Terselebung dan Oligarki
Din Syamsuddin saat memberikan khutbah Idul Fitri 1445 H. (Foto: Dok Ist)
A
A
A

DIY - Cendikiawan muslim sekaligus Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pondok Labu, Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin memberikan khutbah Idul Fitri 1445 H di Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta, Rabu 10 April 2024.

Dalam khutbahnya, Din mengingatkan masyarakat pentingnya menjaga moral dan etika. Dia pun menyebutkan beberapa poin demoralisasi yang terjadi di masyarakat saat ini.

Din mengatakan, umat Islam adalah umat terbaik yang bermakna definitif dan tentatif. Bersifat definitif mengandung arti sudah merupakan suatu kepastian bahwa umat Islam adalah umat terbaik karena Al-Islam berdasarkan wahyu Ilahi yang paripurna. Sedangkan bersifat tentatif mengandung arti bahwa perwujudannya sangat tergantung kepada pemenuhan syarat-syaratnya, yaitu melakukan Amar Makruf Nahyi Munkar dan beriman kepada Allah SWT. Jika kedua prasyarat tersebut tertinggalkan maka predikat umat terbaik akan tertanggalkan.

 BACA JUGA:

Din melanjutkan, prinsip Amar Makruf Nahyi Munkar atas dasar keimanan kepada Allah SWT menjadi sangat sentral dan penting dalam kehidupan umat manusia dewasa ini. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam kehidupan umat manusia selalu ada kelompok yang cenderung melakukan kerusakan (al- fasad) yang membawa dampak sistemik terhadap kerusakan peradaban atau kehidupan bersama.

“Maka harus ada kelompok yang melakukan perbaikan (alishlah). Al-ishlah, ini baik dalam pengertian mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa maupun melakukan perubahan dan perbaikan, merupakan salah satu kriteria ummathan wasathan (umat tengahan atau umat jalan tengah),” ucapnya.

Menurut Din, ada kesalahpahaman terhadap Islam, bahwa seolah-olah Islam hanyalah agama moderasi, sehingga umatnya harus moderat dan toleran terhadap pihak-pihak lain, yang pada ujungnya menampilkan sikap lembut dan lembek terhadap kemungkaran.

Wasathiyyat Islam memang membawa ajaran tasamuh atau toleransi dan bertenggang rasa terhadap perbedaan, kata Din, namun Wasathiyyat Islam juga mengajarkan al-i’tidal (berlaku adil dan menegakkan keadilan), dan alishlah (mengatasi silang sengketa dan melakukan perbaikan serta perubahan dalam kehidupan masyarakat).

 BACA JUGA:

Din mengatakan bangsa Indonesia yang besar dan memiliki modal sosial dan budaya yang tinggi sekarang mengalami pergeseran dan perubahan, dan bahkan pada tingkat tertentu mengalami demoralisasi terselubung.

Berikut beberapa poin demoralisasi yang diwanti-wanti Din dalam khutbahnya:

Pertama, jika dulu bangsa dikenal sebagai bangsa yang ramah tamah, sekarang sebagian anak bangsa cenderung pemarah, mudah tersinggung, dan kemudian menempuh jalan kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Mereka tega menghilangkan nyawa orang lain hanya karena harga diri dan persoalan sepele. Sebagian anak bangsa terjebak ke dalam fanatisme buta dalam membela kepentingan duniawi dari pada bersaing secara sejati.

 

Kedua, bangsa Indonesia juga dikenal sebagai bangsa pejuang, sehingga mampu bertahan tiga setengah abad terhadap penjajahan. Sebagai bangsa pejuang, bangsa Indonesia dikenal tidak kenal lelah dan pantang menyerah terhadap segala macam tantangan. Inilah yang terpantul dari pepatah “sekali layar terkembang pantang mundur ke belakang”. Namun sekarang daya juang itu mulai berkurang, tergerus oleh zaman.

 

Sebagian anak bangsa cenderung menjadi pecundang. Mereka tidak tahan terhadap ujian dan cobaan, sehingga mengambil jalan pintas menerabas hukum dan undang-undang, menghalalkan secara cara untuk mencapai tujuan. Daya juang pun berkurang ketika anak-anak bangsa tidak siap bersaing dan bertanding, bahkan terjatuh pada kecenderungan membanggakan bangsa-bangsa lain yang dianggapnya maju dan moderen. Anakanak bangsa kehilangan jati diri dan tidak bangga terhadap bangsa sendiri.

 

Ketiga, bangsa Indonesia juga terkenal sebagai bangsa yang gandrung bergotong royong. Mereka bahu membahu dan saling membantu dalam berbagai persoalan dan kegiatan. Sudah menjadi tradisi di desa maupun di kota antar sesama warga masyarakat bekerja sama menyelesaikan tugas bersama dalam prinsip “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Namun sekarang etos kegotongroyongan mulai mengendur tergerus waktu.

 

Semangat kegotongroyongan tergantikan oleh kecenderungan hidup bernafsi-nafsi untuk hidup dan selamat sendiri. Jika dalam semangat kegotongroyongan terdapat keikhlasan dan ketulusan untuk membantu sesama seperti terdapat dalam peribahasa “sepi ing pamrih rame ing gawe”, sekarang segala sesuatu diukur dari sudut materi atau bendawi.

 

Keempat, lebih memprihatinkan lagi adanya gejala sebagian masyarakat lebih mengedepankan hak dari pada kewajiban. Mereka menikmati kebebasan sebagai hak asasi dengan melupakan kewajiban atau tanggung jawab asasi.

Halaman:
      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement