Sebagai akibatnya, mereka merasa bebas untuk berdagang walau secara curang, dan kemudian berkacak pinggang di atas penderitaan orang lain dalam perekonomian yang senjang. Kebebasan itu juga mengejawantah dalam hasrat berkuasa atau mempertahankan kekuasaan walau mengabaikan etika. Menghalalkan segala cara merupakan fenomena dalam perjuangan untuk takhta, ketika suara rakyat tidak lagi menjadi suara Tuhan, tapi suara yang tergadaikan dengan uang demi untuk menang.
Pesan hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan menjadi barang mewah yang tak terusik, karena tergantikan oleh budaya politik yang cerdik yang mengubah demokrasi menjadi oligarki dan kleptokrasi yang licik.
Sebagai akibatnya, demokrasi sebagai jalan kesejahteraan dan kemajuan tersandera oleh persaingan untuk kekuasaan dan demi kekuasaan itu sendiri.
“Demoralisasi terselubung inilah yang dewasa ini menjelma dalam kehidupan bangsa, ketika bangsa alpa dan abai terhadap berbagai bentuk kekerasan, pembunuhan, perzinahan, pencurian, korupsi, pemakaian narkoba, sampai kepada penyalahgunaan dan penyelewengan amanat jabatan, serta ketakjujuran, ketakadilan, dan kelaliman. Semuanya itu menunjukkan terjadinya kerusakan moral dalam masyarakat, yang melanda tidak hanya anak-anak dan remaja, tapi juga orang-orang dewasa, tidak hanya di tingkat rakyat tapi juga di kalangan pemangku amanat. Demoralisasi terselubung ini merupakan masalah besar bagi bangsa, dan bahkan dapat meruntuhkan kehidupan bangsa di masa depan,” tegasnya.
(Qur'anul Hidayat)