“Pada masa kerajaan-kerajaan Islam, penghulu memiliki peran dan kedudukan penting. Mereka tidak hanya bertanggung jawab atas urusan perkawinan umat Islam. Lebih jauh, mereka bertindak sebagai qadhi atau hakim yang menangani perkara perdata dan pidana berdasarkan hukum Islam,” lanjutnya.
Dikatakannya, pada masa kolonial Belanda, kewenangan dan tanggung jawab penghulu dibatasi secara bertahap.
Hal ini merujuk pada buku Muhammad Hisyam, “Caught Between Three Fires: Javanese Penghulu under The Dutch Colonial Administration 1882-1942”, yang membahas peran penghulu dalam pemberdayaan masyarakat dan pengembangan pendidikan Islam di era kolonial.
“Masa kolonial, kewenangan penghulu dibatasi oleh Belanda. Dibentuknya Pristerraad atau Raad agama pada 1882 merupakan salah satu upaya penyesuaian dengan birokrasi kolonial,” pungkas Nico Kaptein.
Sekadar diketahui, Festival Islam Kepulauan, yang berlangsung pada 1 hingga 20 Mei 2024 di beberapa kota di Belanda, tidak hanya mengulas peran penghulu, tetapi juga merayakan puisi Sufi Jawa, khususnya Suluk, yang menggambarkan perjalanan mistis para sufi.
Karya-karya tersebut banyak tersimpan di Belanda pasca kolonial, sekaligus menjadi data tarik tersendiri dalam festival untuk meningkatkan pemahaman kebudayaan dan sejarah Islam Nusantara.
(Fahmi Firdaus )