Awalnya, Panitia Sembilan, yang terdiri dari Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, KH A. Wachid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim, Ahmad Subardjo, dan Mohammad Yamin, merumuskan Piagam Jakarta.
Namun, pada 17 Agustus 1945, Mohammad Hatta menyampaikan aspirasi dari rakyat Indonesia bagian Timur yang mengancam akan memisahkan diri jika poin “Ketuhanan” tidak diubah esensinya. Setelah berdiskusi dengan para tokoh agama, termasuk Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, dan Teuku Moh. Hasan, disepakatilah bunyi poin pertama Piagam Jakarta menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa".
KH Wahid Hasyim memainkan peran penting dalam menegaskan konsep "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai konsep tauhid dalam Islam, memastikan bahwa konsep ini inklusif dan dapat diterima oleh semua agama di Indonesia.
Dengan demikian, Pancasila menjadi dasar negara yang merepresentasikan seluruh bangsa Indonesia yang majemuk.
Dalam arti, negara Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan pula negara Islam, melainkan negara yang berupaya mengembangkan kehidupan beragama dan keagamaan (Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila, 2010: 91).
Peran Kiai Wahid Hasyim tidak hanya dalam menjabarkan Pancasila secara teologis dan filosofis, tetapi juga dalam menegaskan bahwa mayoritas umat Islam Indonesia inklusif terhadap seluruh bangsa, sehingga Pancasila menjadi dasar negara yang merepresentasikan semua lapisan masyarakat Indonesia.
(Arief Setyadi )