Soal gesekan para eks-KNIL dengan PETA ini di tubuh militer republik, sedianya sudah muncul sejak berdirinya Badan Keamanan Rakyat hingga berubah nama jadi TNI.
Meski sudah melepaskan beragam atribut KNIL sejak Jepang masuk Indonesia (1942) dan menggabungkan diri ke republik pada 1945, masih terjadi percikan dan bahkan kesenjangan. Terutama ketika para unsur KNIL ingin merombak TNI agar lebih profesional dengan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra).
“Sejak BKR/TKR berdiri. Apalagi yang masalah sentimen pas Re-Ra. Perwira TNI pangkatnya diturunkan satu tingkat, tapi yang eks-KNIL masuk TNI/APRIS tetap, tidak diturunkan pangkatnya. Anggota laskar mau masuk TNI susah, tapi yang eks-KNIL mudah. Kadang yang lulusan PETA orang lapangan, yang eks-KNIL dapat jatah di meja alias staf,” tambahnya.
“Saya jadi ingat dengan almarhum (Letkol) Eddy Sukardi. Dia pernah bilang kurang suka sama Nasution yang lulusan KNIL. Nasution pernah menyuruh dia dan pasukannya mundur 10 kilometer dari kantong gerilyanya,” lanjut Firman berkisah ketika bersua veteran Siliwangi Eddy Sukardi.
“Langsung Pak Eddy marah. Dia bilang ke Nasution, ‘tahu apa kamu soal lapangan? Anak buah saya mati di sini mempertahankan kantong gerilya. Banyak yang gugur, tahu-tahu disuruh mundur, susah payah mempertahankannya’,” imbuh Firman lagi.
Insiden APRA sebelumnya pada Januari 1950, turut memperuncing hubungan kombatan republik antara yang berasal dari kelaskaran dan PETA dan eks-KNIL. Banyaknya penolakan eks-KNIL juga seolah jadi bom waktu dan meletusnya pemberontakan, seperti pemberontakan Andi Azis hingga Republik Maluku Selatan (RMS).
Adapun beberapa yang tak mau gabung APRIS, pilih ikut diangkut Belanda dan meneruskan karier militer, seperti yang dijalani R.M. Poerbo Soemitro yang pensiun di Suriname.
Sedangkan bagi mereka yang pilih hidup sebagai sipil, lebih sering dikucilkan lantaran pernah jadi bagian dari rezim kolonial Hindia-Belanda. Mereka diperlakukan bagaikan “paria” alias manusia dengan kasta rendah yang tak dianggap.
Seperti yang dialami Abdulkadir Widjojoatmojo. Pangkat terakhirnya di KNIL mencapai Kolonel dan pasca-KNIL bubar, Abdulkadir yang lahir dari keluarga Indo-Belanda, diperlakukan seperti yang disebutkan di atas dan akhirnya, pilih emigrasi ke Belanda pada 1951. Utusan Belanda pada Perjanjian Renville itu tutup usia pada 1992 di Den Haag dan jenazahnya dipulangkan untuk dikebumikan di Karanganyar, Jawa Tengah.
(Qur'anul Hidayat)