Dede menjelaskan, sebenarnya pada Satgas Antibullying ini aparatur yang mengurusnya sudah ada. Hanya sayangnya, aparat yang masuk biasanya hanya bersifat penyuluh dan pembimbing sehingga dinilai kurang maksimal karena tidak ada bagian penegakan hukumnya. “Jadi kalau misalnya melaporkan sampai ke polisi dan menggunakan pengacara, ini kan kaitannya jadi harus ada yang di penjara. Jadinya kan panjang sekali, padahal kalau satgas itu bekerja dengan baik dan sekolah tidak membiarkan maka hal-hal semacam ini tidak perlu terjadi,” tukas Dede.
“Nah itu harus kita tanyakan bagaimana di Binus itu ada tidak satgasnya karena satgas ini terdiri dari orangtua, guru, kepala sekolah bahkan hingga keamanan sehingga tidak serta merta permasalahan ini harus diangkat ke penegak hukum. Bisa diselesaikan oleh satgas tadi,” imbuhnya.
Dalam pengakuannya, RE siswa SMA Binus Simprug juga mengaku mendapat intimidasi dari para pelaku bullying. Termasuk adanya ancaman dari terduga pelaku yang mengaku sebagai anak ketua umum partai politik (parpol). Baik korban maupun pihak sekolah menggunakan pengacara ternama pada kasus ini.
“Akhirnya endingnya bukan lagi soal pendidikan tapi jadinya proses gugat menggugat, ketika sudah ada proses gugat menggugat artinya proses pendidikannya sudah kacau sudah tidak terjadi karena masuknya ranah hukum,” terang Dede.
Maraknya kasus bullying di sekolah telah lama menjadi concern Komisi X DPR yang berfokus pada pengawasan bidang pendidikan itu. Dede mengatakan, masalah hukum yang terlibat pada kasus bullying menyebabkan kasus semakin kompleks.
“Selama ini kan datangnya ke komisi X lalu kita panggil pihak sekolah nanti diselesaikan dengan jalur pendidikan. Kalau masuk ke ranah hukum datangnya ke komisi III,” pungkas Legislator dari Dapil Jawa Barat II tersebut.
(Fakhrizal Fakhri )