JAKARTA - Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut tiga TAP MPR yang terkait dengan tiga nama mantan presiden, yakni Soekarno, Soeharto dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Tiga tap MPR tersebut dianggap mencoreng nama baik ketiga presiden tersebut, karena berkaitan dengan tuduhan kasus yang menjerat mereka di akhir jabatan.
Langkah ini dianggap sebagai upaya negara untuk berdamai dengan kisruh masa lalu, meski pencabutan TAP MPR tersebut masih menyisakan polemik. Sekaligus membawa Indonesia masuk pintu rekonsiliasi nasional, memutihkan nama mantan kepala negara yang selama ini "tersandera".
Beleid yang dicabut adalah TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Sukarno; TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; serta TAP MPR Nomor II/MPR/2021 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid.
TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS Tahun 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Sukarno berisi dugaan bahwa Soekarno terlibat dalam upaya pengkhianatan negara dengan melindungi PKI.
Pencabutan ini menegaskan bahwa Bung Karno tak pernah mengkhianati negara dan melindungi PKI seperti disebut dalam pertimbangan TAP MPRS itu. Sehingga secara yuridis tuduhan tersebut tidak pernah dibuktikan menurut hukum dan keadilan serta telah bertentangan dengan prinsip Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum.
Hal itu sesuai ketentuan Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945. Dalam prinsip hukum berlaku “Omnis Idemnatus pro innoxio legibus habetur” (setiap orang yang tidak dapat dinyatakan bersalah sebelum dinyatakan sebaliknya oleh hukum).
Apalagi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Keputusan Presiden Nomor 83/TK/Tahun 2012 telah menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada Almarhum Dr. (H.C.) Ir. Soekarno pada 2012. Pertimbangan pemberian gelar Pahlawan Nasional tersebut antara lain adalah Bung Karno merupakan putra terbaik yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Pasal 25 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 Tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan menyebutkan salah satu syarat pemberian gelar Pahlawan Nasional yaitu setia dan tidak pernah mengkhianati bangsa dan negara.
Ketetapan (TAP) MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang perintah untuk menyelenggarakan yang bersih tanpa Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) akhirnya dicabut. Keputusan itu disampaikan Ketua MPR Bambang Soesatyo dalam Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan Periode 2019-2024, yang digelar di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat
"Terkait dengan penyebutan nama Mantan Presiden Soeharto dalam TAP MPR Nomor 11/MPR 1998 tersebut secara diri pribadi, Bapak Soeharto dinyatakan telah selesai dilaksanakan karena yang bersangkutan telah meninggal dunia," kata pria yang akrab disapa Bamsoet.
Bamsoet menjelaskan, keputusan itu dilandasi atas adanya usulan dari Fraksi Golkar pada 18 September 2024. Kemudian, MPR RI menggelar rapat gabungan pada 23 September 2024. Hasilnya mencabut nama Soeharto dari TAP tersebut. Kendati demikian, Bamsoet mengatakan, TAP MPR itu secara yuridis masih berlaku. Hanya saja, proses hukum terhadap Soeharto sesuai Pasal itu telah selesai karena yang bersangkutan telah meninggal dunia.