Todung juga menjelaskan bahwa hakim memaksakan konstruksi hukum dalam peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi untuk dapat menyimpulkan terpenuhinya unsur dalam Pasal 12 huruf b Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah melalui Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
Sedangkan penggunaan analogi sebagai dasar untuk menjatuhkan vonis merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip legalitas.
"Pemaksaan konstruksi hukum yang paling terlihat adalah menjadikan keuntungan dan pembagian hasil usaha sebagai pemberian hadiah. Dengan menyatakan bahwa keuntungan dari hasil usaha sama dengan pemberian hadiah, maka hakim sebenarnya sedang melakukan analogi. Padahal, analogi merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip legalitas, yang merupakan prinsip paling mendasar dalam hukum pidana," katanya.
Todung Mulya Lubis juga menyoroti ketiadaan lembaga retrial sebagaimana Inggris, meski sangat dibutuhkan apabila hakim melakukan kesalahan dalam menjatuhkan vonis atas suatu perkara.
"Indonesia memang tidak mengenal langkah retrial seperti yang ada di Inggris. Namun keberadaan lembaga peninjauan kembali bisa menjadi opsi untuk melakukan koreksi ini," ucapnya.
Terakhir, dia juga berharap agar Mahkamah Agung (MA) benar-benar mengevaluasi kembali secara teliti terhadap vonis yang sudah dijatuhkan kepada terpidana setelah amicus curiae dikirimkan.