Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan melakukan penyerbuan ke Laut Natuna Utara, China mungkin telah mencoba menguji tekad Prabowo. Namun yang lain merasa bahwa melalui tindakan terbarunya, Beijing telah mengirimkan pesan tersembunyi ke Jakarta bahwa perairan tersebut berada di bawah sembilan garis putus-putusnya dan bahwa siapa pun pemimpin yang berkuasa di Indonesia, China akan terus menjalankan klaim tersebut.
Pada 2016, Pengadilan Arbitrase Tetap di Den Haag tidak menemukan dasar hukum untuk klaim China atas Laut Cina Selatan di bawah batas sembilan garis putus-putus berbentuk U. Namun catatan masa lalu menunjukkan bahwa China terus mengikuti pendekatan 'yang kuat adalah yang benar' dalam berurusan dengan tetangganya di Laut Cina Selatan.
Pada Januari 2020, ketegangan juga meningkat antara kedua negara setelah kapal penjaga pantai China memasuki Laut Natuna Utara untuk menekan Indonesia agar menghentikan pengeboran minyak dan gas karena wilayah tersebut milik China. Indonesia, menurut Reuters, tidak menghentikan pengeboran tetapi Beijing setelah berbulan-bulan berselisih dengan Jakarta menarik kapalnya dari wilayah tersebut.
Filipina, Vietnam, dan Malaysia, yang memiliki klaim tumpang tindih atas Laut Cina Selatan, semuanya berada di bawah tekanan China untuk mengakhiri proyek energi di Laut tersebut. Namun, mereka belum menyerahkan wilayah apa pun kepada China.
Pada Agustus tahun ini, Vietnam dan Filipina sepakat untuk memperkuat hubungan pertahanan mereka dan memperdalam kolaborasi dalam keamanan maritim. Hal ini dipandang sebagai langkah besar kedua negara untuk melawan tindakan agresif China di Laut Cina Selatan.