JAKARTA - Kejagung telah menetapkan tersangka terhadap empat hakim dalam kasus dugaan suap terkait putusan onslag atau lepas dalam perkara Pemberian Fasilitas Ekspor Crude Palm Oil (CPO), dan turunannya pada Industri Kelapa Sawit periode Januari 2021-Maret 2022.
Keempat hakim itu ialah Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AL) selaku hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat; Djuyamto (DJU) selaku hakim Pengadilan Jakarta Selatan dan Muhammad Arif Nuryanta (MAN) yang menjabat Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
MAN disebut memberikan suap pada tiga hakim yakni, AL, PN dan DJU. Pemberian uanh ditujukan agar ketiga hakim memutuskan perkara CPO korporasi besar menjadi ontslag atau putusan lepas.
Selain itu, Kejagung juga menetapkan 3 orang tersangka di kasus penanganan perkara PN Jakarta Pusat. Ketiganya berinisial MS dan JS selaku advokat, serta TB selaku Direktur Pemberitaan Jak TV.
Menanggapi itu, peneliti Pusat Studi Anti Korupsi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah menyebutkan, sejatinya dua advokat inisial MS dan AB yang terjerat kasus dugaan suap penanganan perkara korupsi CPO oleh hakim bisa dikenakan TPPU.
Menurutnya, meski keduanya bukan penyelenggara negara, keduanya tetap bisa dilakukan upaya memiskinkan koruptor. Sebabnya, prinsip pokok di dalam upaya memiskinkan koruptor itu mengenakan delik yang bisa menyeret harta-harta yang tak bisa dipertanggungjawabkan.
"Salah satu harta yang enggak bisa dipertanggungjawabkan adalah harta-harta yang asal-usulnya tidak jelas kan. Nah, harta-harta yang asal-usulnya tidak jelas itu bisa saja disembunyikan oleh koruptor termasuk yang swasta dalam urusan menyembunyikan hasil kejahatan melalui Tindak Pidana Pencucian Uang," ujarnya saat dikonfirmasi, Senin (28/4/2025).
"Makanya, salah satu bentuk memiskinkan koruptor biasanya menyandingkan antar delik tindak pidana korupsinya dengan delik Tindak Pidana Pencucian Uang," tuturnya.
Dia menerangkan, kedua delik itu mesti dilakukan untuk menyeret harta-harta koruptor, termasuk pihak swasta yang dianggap menyembunyikan harta kekayaannya dengan cara layering dan macam-macam yang dikodifikasikan di dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. Maka itu, mesti disandingkan antara delik korupsinya dengan delik Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai bentuk atau upaya memiskinkan para koruptor.
"Jadi, tidak ada soal mau dia penyelenggara negara atau swasta sepanjang memang bisa dibuktikan asal-usul kekayaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan termasuk juga berupaya menyembunyikan hasil kejahatan melalui pencucian uang itu delik yang digunakan untuk memiskinkan para koruptor," pungkasnya.
Dia menambahkan, diharapkan ke depan mesti serius mendorong Undang-undang Perampasan Aset. Sebabnya, itu menjadi bagian penting dalam upaya memiskinkan koruptor.
(Awaludin)