JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merespons langkah Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, yang mengajukan gugatan Pasal 21 UU Tipikor ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal tersebut mengatur tentang perintangan penyidikan alias obstruction of justice.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan menghormati hak konstitusional setiap warga negara, termasuk Hasto. Budi juga menyinggung pasal tersebut bukan hanya didakwakan terhadap Hasto.
“Di antaranya kalau kita ingat terkait dengan perkara pengadaan E-KTP, kemudian perkara gratifikasi di Papua, di mana kemudian para tersangka yang saat itu kita tetapkan, kemudian divonis bersalah oleh Majelis Hakim,” kata Budi Prasetyo, Selasa (29/7/2025).
Budi melanjutkan, di sisi lain, keberadaan pasal tersebut bertujuan untuk menjamin efektivitas proses penegakan hukum yang tidak hanya menyasar para pelaku, tapi juga pihak-pihak yang merintangi penyidikan.
“Sehingga tidak hanya untuk memberikan efek jera kepada para pelaku, tapi juga kepada pihak-pihak yang diduga mencoba menghalang-halangi atau mengganggu proses hukum tersebut,” ujarnya.
Sebelumnya, Hasto mengajukan uji materi terkait UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Permohonan uji materi yang diajukan Hasto ini dibenarkan kuasa hukumnya, Maqdir Ismail. Maqdir menyampaikan uji materi itu dimohonkan pada Kamis 24 Juli 2025, satu hari sebelum putusan perkara kliennya diputus di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Pasal yang diuji ialah Pasal 21 UU Tipikor, yakni pasal yang mengatur tentang perintangan penyidikan alias obstruction of justice. Maqdir menyampaikan salah satu latar belakang diajukannya uji materi ini adalah karena Hasto dinilai dikriminalisasi.
“Ya, itulah salah satu argumen yang kita sampaikan, bahwa penetapan Pak Hasto sebagai tersangka melanggar Pasal 21 itu tidak tepat, karena gak ada bukti,” kata Maqdir saat dihubungi, Senin 28 Juli 2025.
Dalam petitumnya, Hasto dan kuasa hukumnya meminta Pasal 21 UU Tipikor dimaknai menjadi:
Setiap orang yang dengan sengaja secara melawan hukum mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi melalui penggunaan kekerasan fisik, ancaman, intimidasi, intervensi, dan/atau janji untuk memberikan keuntungan yang tidak pantas, dipidana dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Dan, menyatakan frasa “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan” dalam Pasal 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Nomor 140 Tahun 1999 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa frasa tersebut memiliki arti kumulatif, dalam arti tindakan mencegah, merintangi, atau menggagalkan harus dilakukan dalam semua tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.
(Arief Setyadi )