Lebih lanjut, Menbud menambahkan bahwa Indonesia memiliki diaspora Melayu yang sangat besar dan tersebar di seluruh dunia. Salah satu yang terbesar adalah di Cape Town, Afrika Selatan.
“Namun, para diaspora tersebut tidak bisa berbahasa Indonesia-Melayu. Padahal mereka memiliki ikatan batin dengan Indonesia. Ini patut menjadi PR kita bersama,” tuturnya.
Dalam konteks Kebudayaan, Melayu merupakan simpul peradaban maritim yang jalur lautnya menjadi nadi ekonomi dalam menghubungkan berbagai negara seperti India, Tiongkok, Timur Tengah, hingga Afrika.
Catatan sejarah turut menunjukan bahwa sejak abad ke-7 Masehi, Bahasa Melayu sudah digunakan dalam Prasasti Kedukan Bukit pada tahun 683 Masehi di Palembang, Sumatera Selatan; Prasasti Talang Tuwo pada 683 Masehi sebagai bahasa resmi Kerajaan Sriwijaya; dan Prasasti Karang Berahi pada 686 Masehi ditemukan di Jambi yang ditulis menggunakan aksara Palawa dan berbahasa Melayu kuno.
Bahasa ini kemudian berkembang menjadi lingua franca atau bahasa penghubung yang digunakan oleh para pedagang, pemimpin, serta para cendikiawan di Asia Tenggara untuk saling berkomunikasi.
“Bahasa tersebut terus berkembang dan kemudian diresmikan menjadi Bahasa Indonesia pada Sumpah Pemuda 28 Oktober oleh para pemimpin Indonesia terdahulu. Hal ini menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan atau binding power yang memungkinkan kita untuk dapat berkomunikasi antar warga negara Indonesia di berbagai pulau. Bahasa Indonesia menjadi salah satu warisan budaya Melayu yang luar biasa,” ucap Menteri.