Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Tragedi Berdarah G30SPKI, Provokasi dan Pembantaian Jenderal Tanpa Belas Kasihan

Arief Setyadi , Jurnalis-Selasa, 30 September 2025 |06:32 WIB
Tragedi Berdarah G30SPKI, Provokasi dan Pembantaian Jenderal Tanpa Belas Kasihan
Monumen Pancasila Sakti mengenang para jenderal korban kebengisan PKI (Foto: Dok Okezone)
A
A
A

JAKARTA – Gerakan 30 September (G30S) 1965 yang digawangi Partai Komunis Indonesia (PKI) masih kuat dalam ingatan hingga hari ini, Selasa (30/9/2025). Dalam tragedi berdarah itu, tujuh jenderal menjadi sasaran utama, namun satu berhasil lolos. 

Mereka adalah Jenderal (Anumerta) Ahmad Yani, Mayjen (Anumerta) Donald Ifar Panjaitan, Letjen (Anumerta) MT Haryono, Letjen (Anumerta) Siswono Parman, Letjen (Anumerta) Suprapto, Mayjen (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo, serta Kapten CZI (Anumerta) Pierre Tendean.

Oknum tentara yang disusupi PKI berusaha melakukan kudeta untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Tiga dari tujuh jenderal yang menjadi target tersebut, yaitu Ahmad Yani, MT Haryono, dan DI Panjaitan, tewas di rumah mereka. Tiga lainnya, yaitu Soeprapto, Siswono Parman, dan Sutoyo, berhasil ditangkap hidup-hidup.

Sementara itu, Jenderal Abdul Haris Nasution berhasil melarikan diri dengan cara melompati pagar yang berbatasan dengan Kedutaan Besar Irak. Nahas, ajudannya, Pierre Andreas Tendean, berhasil ditangkap. Bahkan, anak perempuan Nasution, Ade Irma Suryani (5), juga menjadi korban tembakan regu sergap dan meninggal dunia di RSPAD Gatot Subroto pada 6 Oktober. 

Di malam kelam itu, hingga 1 Oktober 1965 dini hari, jenazah para jenderal yang tewas dan mereka yang masih hidup dibawa ke sebuah rumah di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Mereka disiksa hingga meninggal. Semua jenazah tersebut kemudian dibuang ke dalam sumur kecil dekat lokasi tersebut. Operasi berdarah itu terus dilakukan, dan pagi hari pukul 07.00 WIB, Radio Republik Indonesia (RRI) menyiarkan pernyataan dari Untung Syamsuri, komandan pasukan Tjakrabirawa yang bertugas mengawal Presiden Soekarno. 

Untung menyatakan bahwa Gerakan 30 September telah berhasil menguasai sejumlah lokasi strategis di Jakarta, berkat dukungan anggota lainnya dengan membawa isu Dewan Jenderal yang dituding akan mengkudeta pemerintahan Soekarno.

Namun, mereka tidak memperhitungkan Soeharto, yang kala itu merupakan pimpinan Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Soeharto segera mengambil alih komando dan mulai menyusun langkah penyelamatan. 

Ia menghubungi anggota militer yang masih setia pada NKRI dan berusaha merebut kembali fasilitas-fasilitas yang sebelumnya dikuasai oleh para pemberontak.

Mereka bergerak cepat dan terukur, dan pada pukul 19.00 WIB, G30S akhirnya berhasil dilumpuhkan setelah pasukan yang dipimpin Soeharto merebut kembali fasilitas-fasilitas yang dikuasai. Pada pukul 21.00 WIB, Soeharto mengumumkan bahwa ia telah mengambil alih kendali militer dan berkomitmen untuk menghancurkan pasukan pengkhianat serta menyelamatkan Presiden Soekarno yang tertahan di Lanud Halim.

Soeharto memberikan ultimatum kepada pasukan pemberontak yang masih ada di Lanud Halim. Mereka pun menyerah, dan tak lama setelah itu, Presiden Soekarno berhasil meninggalkan Halim dan menuju Istana Bogor. Sementara tujuh jenazah yang dibuang ke Lubang Buaya baru ditemukan pada 3 Oktober 1965. Mereka kemudian diangkat satu per satu dan dimakamkan secara layak pada 5 Oktober.

Provokasi Sebelum G30S

Kondisi politik yang semakin panas di Indonesia, terutama di Jakarta sebelum G30S, tidak lepas dari provokasi yang dilakukan PKI dan organisasi-organisasi sayapnya. PKI bersama Pemuda Rakyat, BTI, Lekra, dan Gerwani, terus berupaya menggoyang stabilitas politik dengan menyerang siapa saja yang dianggap lawan. 

Kekacauan politik pun melanda hampir setiap sudut. Selain aksi sepihak seperti merebut tanah dengan alasan menjalankan program landreform atau Undang-Undang Reforma Agraria, mereka juga menggelar aksi massa yang semakin memperkeruh keadaan.

Dalam buku  Jenderal Yoga Loyalis di Balik Layar (2018), disebutkan bahwa beberapa provokasi politik yang dilakukan PKI menjelang peristiwa G30S cukup mencolok. Salah satunya adalah penyerbuan oleh massa PKI terhadap kediaman Duta Besar Amerika Serikat, Howard Jones, di Jakarta. 

Amerika Serikat dan sekutunya sering dianggap sebagai kekuatan nekolim (neokolonialisme imperialisme). Penyerbuan tersebut terjadi pada 28 Februari 1965, sekitar tujuh bulan sebelum G30S meletus. Tak hanya itu, pada 1 April 1965, massa PKI juga menyerbu vila milik William (Bill) Palmer di Gunung Mas. 

Palmer adalah manajer Gabungan Importir Film Amerika (Association of American Film Importers), yang oleh PKI dituduh sebagai agen Badan Intelijen Amerika (CIA). PKI menuduh Palmer menjalin komunikasi rahasia dengan sejumlah perwira militer Indonesia.

Akibatnya, sekitar 1.000 orang massa PKI menyerbu kantor Ampai, tempat Palmer bekerja, dan mendesak penutupan kantor tersebut. Aksi PKI ini mendapatkan dukungan dari Republik Rakyat China (RRC). Dalam siaran radio Peking (sekarang Beijing), RRC memuji langkah PKI, karena Ampai dianggap sebagai alat subversif yang memperkenalkan kebudayaan asing untuk melemahkan revolusi Indonesia.

Selain itu, Asmoe Tjiptodarsono, Ketua Barisan Tani Indonesia atau BTI yang merupakan sayap PKI, mengusulkan pembentukan Angkatan V yang terdiri dari buruh dan tani yang dipersenjatai. Usulan tersebut dilontarkan menjelang peristiwa G30S, dan dalam pidatonya pada Februari 1965, Ketua CC PKI DN Aidit kembali menegaskan pentingnya merealisasikan ide tersebut.

Pembentukan barisan buruh dan tani yang dipersenjatai ini terinspirasi oleh model yang diterapkan oleh Partai Komunis China. Aidit juga mengusulkan agar setiap angkatan darat, laut, udara, dan kepolisian membentuk komisaris politik yang bertugas untuk membina ideologi, doktrin, dan ajaran perjuangan bagi setiap prajurit.

PKI juga menggulirkan isu tentang adanya Dewan Jenderal, yang mereka klaim terdiri dari perwira tinggi Angkatan Darat yang tidak loyal kepada Presiden Soekarno. Melalui isu ini, PKI berusaha menyebarkan informasi yang menyesatkan. PKI juga menyebarkan isu bahwa kelompok "Nekolim" berencana untuk membunuh Bung Karno, Kepala Badan Pusat Intelijen atau BPI Soebandrio, dan Menteri/Panglima Angkatan Darat A Yani. 

Jika rencana pembunuhan itu gagal, mereka mengklaim bahwa tentara Nekolim akan menyerbu Indonesia dengan bantuan kaki tangan mereka. Namun, akhirnya, pada 12 Maret 1966, PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia.

(Arief Setyadi )

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement