JAKARTA- Manuver politik yang dilancarkan Partai Aceh (PA) dengan aksi demonstrasi besar untuk memboikot Pemilukada Gubernur Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dinilai sebagai bentuk arogansi elite politik PA terhadap konstitusi. Tidak ada alasan bagi PA untuk menolak calon gubernur independen sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi.
“Ajakan boikot pemilukada jelas cermin dari sikap kerdil PA. Rakyat Aceh jelas tidak menginginkan ditundanya pemilukada. Ini hanya mainan elite politik yang ketakutan, bersaing dengan cagub independen,” ujar pengamat intelijen Wawan Purwanto kepada okezone, Kamis (10/11/2011).
Wawan menambahkan, aksi boikot yang gerakkan elite PA dan DPRA tidak mungkin akan mendapat dukungan rakyat Aceh. Justru, sebaliknya sikap politik PA yang berlindung di balik UU Pemerintah Aceh dan MoU Helsinki dengan menolak putusan MK dapat dikatakan sebagai pembangkangan terhadap kedaulatan hukum.
“Aksi demonstrasi dengan sendiri akan berujung pada titik jenuh. Hingga pada akhirnya rakyat Aceh akan menilai bahwa elite PA hanya mementingkan kekuasaan,” tegasnya.
Sepatutnya, kata Wawan, PA yang dimotori Muzakir Manaf dan Zaini Abdullah menunjukkan kebesaran jiwanya dan sifat kenegarawanannya dengan mengembalikan segala proses pilkada sesuai aturan dan regulasi yang ada saat ini di Indonesia dengan mengikuti keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
“Kalau pegangannya konstitusi, PA dan DPRA harus mematuhi putusan MK. UU Pemerintah Aceh dan Kekhususan Aceh tetap harus tunduk di bawah konstitusi RI," tandasnya.
Saat ini, menurutnya, pemerintah pusat harus berperan aktif menjaga pemilukada tetap berjalan sesuai dengan jadwal pada 24 Desember 2011. Artinya, dengan mengawal pemilukada berjalan dengan jujur, adil dan transparan.
Sebelumnya, partai bentukan pentolan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu menyatakan tidak mendaftarkan calon baik untuk kursi Gubernur/Wakil Gubernur maupun kepala daerah di 17 Kabupaten/Kota periode 2012-2017, sebelum persoalan regulasi (qanun/perda) pelaksanaan Pemilukada Aceh diselesaikan.
Keputusan sela MK, dalam sidang gugatan tahapan Pemilukada Aceh di Jakarta pada 2 November lalu, salah satunya meminta KIP membuka lagi masa pendaftaran kandidat. Hal ini dinilai belum menyentuh substansi akar persoalan yang menjadi sumber konflik regulasi di Aceh selama ini.
Diingatkan Wawan, jangan sampai nantinya kegagalan pemilukada Aceh menjadi preseden buruk bagi kelangsungan perdamaian dan integritas negara," tandas Wawan yang juga mantan Tim Sosialisasi Perjanjian Damai Helsinki RI-GAM 2005.
(Stefanus Yugo Hindarto)