 
                JAKARTA- Penangkapan dua hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang membuat sejumlah kalangan mendesak agar Pengadilan Tipikor di daerah dibubarkan. Hakim-hakim pengadilan Tipikor di daerah dituding kerap “bermain” dengan koruptor, tujuannya, agar para koruptor divonis ringan.
Namun, usulan pembubaran pengadilan tipikor dinilai bukanlah solusi terbaik untuk mencegah terjadinya suap di kalangan hakim. Menurut pengamat Hukum Universitas Khairun Ternate, Margarito Kamis, bila pengadilan Tipikor dikembalikan ke pusat, justru penegakan hukum di Indonesia akan rusak.
“Karena perkaranya banyak, loaded, hakim-hakim tentunya tidak bisa mengeksplorasi, mengkonstruksi, sementara kita tahu pengadilan itu kerjanya kan meletakan hukum agar tegak. Bila terlalu banyak perkara maka tidak akan fokus, sebaiknya biarkan pengadilan tipikor ada di Daerah,’ kata Margarito saat dihubungi okezone, Selasa (20/8/2012).
Dikatakan Margarito, seharusnya, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial harus lebih mengintensifkan pengawasan terhadap hakim-hakim. “MA dan KY harus membuat rumusan kriteria calon hakim tipikor, itu yang harus dibenahi dan diubah, yang diperlukan seorang hakim itu adalah moral, telusuri rekam jejak calon hakim dalam sepuluh tahun terakhir, perketat rekrutmen,” kata Margarito. 
Selama ini, sistem perekrutan hakim yang ada, kata Margarito, masih memiliki kelemahan. “Sistem yang ada sekarang, membuat seoarng hakim yang baik, akan menjadi rusak, bagaimana yang sudah rusak,” ujarnya.
Solusi pembuatan zona pengadilan Tipikor, seperti pembentukan pengadilan tipikor hanya di sejumlah daerah juga bukan merupakan solusi untuk pemberantasan korupsi. “Ingat Korupsi terjadi di setiap daerah, bila di Indonesia hanya ada tiga atau lima pengadilan tipikor, pasti tetap akan terjadi penumpukan perkara, yang ada nanti hanyalah pengadilan asal jadi. Saat ini yang terpenting adalah perketat rekrutmen, cari hakim yang memiliki moral, dan tingkatkan pengawasan. Itu harus dibangun,” katanya.
(Stefanus Yugo Hindarto)