JAKARTA- Anggota Komisi III DPR, Nasir Jamil berharap hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (tipikor) memutuskan perkara Miranda dengan seadil-adilnya. Vonis hakim harus sesuai bukti dan fakta di persidangan.
Nasir berharap agar pengadilan Tipikor tidak menjadi lembaga Algojo yang hanya bisa menghukum para terdakwa. Permasalahan hukum harus bisa dilihat secara proporsional. Hakim tidak boleh memutus berdasarkan opini yang berkembang di luar persidangan. "Kalau memang fakta persidangan tidak bisa digunakan untuk menjerat terdakwa, hakim bisa memutus bebas. Demikian pula sebaliknya,” ujarnya di Jakarta.
Senada dengan Nasir, pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji mengungkapkan bahwa semestinya hakim Tipikor nanti tak perlu ragu menjatuhkan vonis bebas pada Miranda. Lebih jauh dia menjelaskan bahwa sejauh ini tidak ada satu hal pun fakta yang memberatkan Miranda. "Pengadilan bukan berarti lemah jika membebaskan seorang terdakwa. Jangan tertekan atau terjebak pada opini publik,” tandas Indriyanto yang juga Guru Besar Hukum Pidana UI.
Miranda didakwa dengan pasal 5 ayat 1 huruf b dan pasal 13 UU Tipikor junto atau pasal 55 ayat 1 dan 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam dakwaan Miranda diduga terlibat atau ikut serta bersama Nunun Nurbaeti melakukan tindak penyuapan terhadap pejabat negara. Nunun sendiri sebelumnya telah divonis 1 tahun 6 bulan oleh pengadilan Tipikor.
Miranda disebut ikut dalam pertemuan di rumah Nunun yang merencanakan pemenangan dirinya sebagai Deputi Gubernur Senior BI pada tahun 2004. Namun dalam persidangan, kesaksian terkait adanya pertemuan itu hanya disampaikan oleh Nunun. Sementara saksi-saksi lain yang disebut hadir dalam pertemuan telah membantahnya. Kesaksian Nunun disebut-sebut sebagai kesaksian tunggal yang dapat membatalkan dakwaan.
(Stefanus Yugo Hindarto)