PURWOKERTO - Komisi Yudisiam (KY) mengaku kesulitan menindaklanjuti sejumlah laporan terkait maraknya hakim yang melakukan penyalahgunaan wewenang, termasuk pelanggaran kode etik, terutama di daerah.
"Dari jumlah laporan kami hanya menyelesaikan sedikit. Dari 1.000 lebih itu yang terbukti hanya sedikit," kata Wakil Ketua KY, Imam Anshori Saleh di sela-sela acara sosialisasi dengan Lembaga Penelitian dan Peradilan Masyarakat (LPPM) Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah, Jumat (25/1/2013).
Menurut Imam, banyaknya pelanggaran kode etik oleh para hakim tersebut disebabkan buruknya sistem rekruitmen hakim. Selain rekruitmen yang buruk, sistem pembinaan hakim di Indonesia juga masih jauh dari harapan.
"Kembali ke proses rekrutmennya. Sebetulnya pembinaan hakim itu sangat kurang. Kalau di Belanda hakim itu setiap tahun masuk kelas untuk meningkatkan pengetahuannya. Kalau di sana, 8 tahun pendidikan baru bisa diangkat sebagai hakim. Di sini, baru 2 tahun pendidikan sudah diangkat," paparnya.
Bahkan, Imam menerangkan, Hakim di tanah air justru orang-orang yang tidak memiliki kapasitas dan kemampuan unggul sebagai hakim. Sebab sangat jarang orang yang berniat menjadi hakim lantaran minimnya kesejahteraan, meskipun kemampuannya baik.
"Biasanya yang jadi hakim tidak semuanya berkualitas kelas 1. Seharusnya justru yang baik-baik yang jadi hakim. Sehingga mereka betul-betul menjadi yang terpilih. Karena dulu memang jaminan kesejahteraan hakim sangat rendah. Mudah-mudahan dengan peningkatan gaji itu banyak yang tertarik jadi hakim," tandasnya.
(Dede Suryana)