Gaya Parpol Menjual Produk

SINDO, Jurnalis
Minggu 23 November 2008 12:47 WIB
Share :

Iklan menjadi media komunikasi baru bagi partai politik (parpol) untuk menjaring massa. Selain itu, para artis dijadikan alat untuk menuai suara.

Iklan sebagai sarana untuk memikat pembeli terhadap sebuah produk tampaknya juga dijadikan media baru bagi parpol dan tokoh politik saat ini. Ya, parpol atau tokoh kini menjadikan iklan sebagai kebutuhan pokok untuk memikat massa pemilih. Iklan �"yang sederhana sekalipun�" diproyeksikan menjadi duta untuk memperkenalkan visi dan platform parpol, termasuk alat untuk mendongkrak popularitas.

Namun, tentu saja media yang satu ini hanya berlaku bagi mereka yang berkantong tebal. Sebab, disebut-sebut untuk satu kali tayangan iklan di televisi yang disiarkan di waktu prioritas (prime time), biayanya bisa mencapai Rp500 juta dalam hitungan beberapa detik.

Lantas, seberapa efektifkah iklan ini bisa memengaruhi massa pemilih untuk kemudian menentukan pilihannya kepada partai atau tokoh yang beriklan?

Sejarah membuktikan, pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi pada pemilihan presiden dan wakil presiden 2004 disebut-sebut sebagai pasangan yang mengeluarkan bujet iklan terbesar dibandingkan pasangan lain. Namun, pasangan Mega-Hasyim kalah dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono- Jusuf Kalla.

Artinya, iklan sebagai bahasa politik baru saat ini belum menjadi jaminan sebuah kemenangan. Sebagai sebuah alat untuk mendongkrak popularitas, tidak dinafikkan iklan sangat berperan. Hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia (LSI) Oktober 2008 menyebutkan, saat ini stagnasi, penurunan, dan peningkatan kekuatan elektoral berbagai partai sangat terkait erat dengan gejala menguatnya peran media massa yang menggantikan fungsi organisasi parpol dalam menjangkau calon pemilih.

Sejatinya, banyak cara strategi bisa dilakukan parpol untuk mencari perhatian publik. Di antaranya lewat kegiatan sosial atau pentas hiburan. Sudah menjadi kelaziman pula bahwa parpol saat ini lebih banyak menggunakan budaya pop dalam usahanya menjaring massa. Salah satunya adalah dengan menggaet para selebriti.

Keberadaan para selebriti di parpol diyakini bisa menuai suara saat pemilihan. Itu berarti tidak sedikit artis yang dijadikan penarik suara (vote getter) parpol.

Dosen Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia Panji Anugrah dalam tulisannya "Menanti Lahirnya Politisi Pekerja" (SINDO, 2/11) menyebutkan, selebriti yang terjun ke dunia politik sebagai sebuah persoalan klasik parpol.

Kehadirannya mengancam demokratisasi dan bermasalah karena mengancam masa depan demokrasi. Keberadaan artis itu mampu mementahkan segala proses kaderisasi dan pelembagaan politik di tubuh partai yang menjadi kredo utama konsolidasi demokrasi. Saat ini, Partai Amanat Nasional (PAN) merupakan parpol yang paling banyak merekrut selebriti.

Sebut saja Eko Patrio yang dipasang PAN sebagai caleg daerah pemilihan Jawa Timur VIII dengan nomor urut 1. Pada tingkat popularitas, nama Eko memang tak diragukan lagi. Terbukti, jajak pendapat yang dilakukan LSI, Oktober 2008, mengungkapkan, namanya berada di urutan kedua dengan meraih 5,6% suara setelah politikus kawakan yang kini menjabat Ketua DPR Agung Laksono (18,5%).

Bahkan, Eko jauh mengungguli para politikus kawakan seperti Muhaimin Iskandar (2,9%), Pramono Anung (2,5%), Anas Urbaningrum (1,9%), Tifatul Sembiring (1,5%), Priyo Budi Santoso (0,2%), dan Ferry Mursyidan Baldan (0,1%). Survei LSI dilakukan dengan jumlah responden 1.249 di 33 provinsi berusia 17 tahun ke atas menggunakan metode wawancara dengan sample error 3% dan tingkat kepercayaan 95%.

Sales Politik


Sudah bukan rahasia lagi jika para selebriti sangat dekat dengan dunia pemberitaan. Bukan saja tentang aktivitas di dunia peran, tetapi halhal pribadi mereka pun kerap menjadi buruan media. Karena itu, Direktur Eksekutif Chrata Politika Bima Aria Sugiarto menyebutkan, dengan sendirinya selebriti mempunyai kemampuan di atas rata-rata dalam hal menyampaikan pesan ke publik.

Kelebihan ini tentu diharapkan oleh partai untuk juga mengomunikasikan "kepentingan" partai kepada masyarakat. "Dalam berbagai kesempatan mereka bisa menyampaikan sesuatu melalui media, termasuk melalui media informasi hiburan (infotainment)," ujar Bima.

Namun, kelebihan selebriti itu bisa menjadi blunder politik jika tidak menguasai konteks dan substansi informasi yang ingin disampaikan.

Padahal jika hal itu bisa dimaksimalkan, akan sangat efektif bagi parpol untuk menuai suara �"�"minimal dari para penggemarnya. Namun menurut pandangan Bima, saat ini mayoritas artis belum bisa menggunakan kelebihan yang mereka miliki. Mereka masih merepresentasikan diri mereka sendiri sebagai artis, bukan partai yang mereka wakili. Artinya mereka belum menjadi duta partai yang baik untuk menyampaikan misi partai.

Artis sebagai duta partai bisa dijadikan sarana untuk menggaet suara mengambang (swing voters) yang menurut LSI saat ini cenderung meningkat. Temuan LSI menyebutkan, hanya 15% orang yang mengaku sebagai bagian dari partai. Maka ada 85% yang bebas direbut oleh tiap partai.

Menurut LSI, salah satu cara untuk mendekatkan partai dengan pemilih adalah lewat sosialisasi. Saat ini, dalam pandangan LSI, hanya Partai Gerindra dan Partai Demokrat yang intens melakukan sosialisasi lewat iklan politik di media massa (khususnya televisi). Sejatinya, televisi adalah "rumah" bagi para selebriti. Artinya, para selebriti tak perlu mengundang wartawan karena merekalah bahan berita yang selalu diburu.

Di sinilah para selebriti bisa memanfaatkan profesinya untuk menyosialisasi parpol pengusungnya. Menurut Bima, parpol juga sangat berperan untuk membentuk karakter artis dalam berpolitik. Ketika sang artis terlihat cerdas dalam berpolitik, parpol juga akan mendapat keuntungan. "Parpol tidak bisa tinggal diam untuk membentuk karakter artis," ujar Bima.

Sementara Ahmad Zulfikar Fawzi alias Ikang Fawzi, penyanyi yang menjadi caleg PAN, menilai, masuknya artis ke dunia politik akan memberikan win win solution antara sang artis dan parpol. Partai akan terangkat dengan aksesibilitas para selebriti tersebut dan artis pun bisa menyalurkan hasrat politik mereka.

"Aksesibilitas dan elektabilitas merupakan kelebihan artis, sedangkan kompetensi mereka masih bisa ditingkatkan," ujar Ikang yang menjadi caleg PAN untuk daerah pemilihan Banten I bernomor urut 1 ini kepada SINDO.

Kini tinggal bagaimana parpol dan artis memanfaatkan berbagai kesempatan untuk berkolaborasi menuai suara. Parpol dituntut "memoles" sang artis agar lebih kelihatan menjadi politikus, sedangkan artis dituntut menjadi salesyang baik dalam menawarkan platform parpol kepada para penggemar (baca: pelanggan) mereka.

(Nurfajri Budi Nugroho)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya