BOGOR - Bogor, kota yang sejuk dan nyaman ini ternyata tak hanya menyimpan berbagai keindahan alam dan kawasan wisata yang menarik. Semisal Kebun Raya Bogor yang
menjadi ikon Kota Bogor.
Kawasan perkebunan teh Gunung Mas, Prasasti Batutulis, dan lainnya merupakan
contoh dari aset tak ternilai di Kota Hujan ini. Wisata kulinernya pun tak kalah memikat. Tak hanya talas yang menjadi makanan khas, ternyata masih banyak lagi yang menjadi incaran para pecinta kuliner jika berkunjung ke Kota Bogor.
Contohnya soto Bogor, toge goreng, roti unyil venus, asinan bogor, asinan jagung bakar, sop buah Pak Ewok, macaroni paggang, serta masih banyak lagi lainnya. Semuanya menjadi kebanggaan sekaligus magnet bagi wisatawan untuk berkunjung ke Kota Bogor. Namun di balik semua itu, Bogor masih menyimpan kisah menarik untuk diceritakan. Kota Bogor juga sarat keberagaman sosial-budaya.
Memang masyarakat asli Kota Bogor didominasi oleh warga keturunan Sunda. Hal ini terlihat dari banyak orang yang menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari–hari.
Namun tak hanya warga keturunan Sunda, ada penduduk keturunan lain yang menetap di Kota Bogor ini.
Malah berbagai suku dan keturunan yang ada dalam keberagaman sosial masyarakat Kota Bogor. Ada warga keturunan Batak atau Ambon, juga etnis China yang
berada di kawasan Jalan Surya Kencana. Komunitas ini sering menggelar upacara Cap Gomeh setiap tahunnya.
Selain itu, hidup keturan Timur Tengah yang tinggal di Perkampungan Arab Empang. Jika kita berjalan–jalan ke Bogor Selatan, tepatnya di daerah Empang terdapat komunitas masyarakat Arab. Sampai–sampai daerah ini dijuluki Kampung Arab Empang. Ihwalnya, di pemukiman tersebut mayoritas keturunan Arab.
Sedikit bercerita mengenai sejarah, sebutan Empang muncul ketika Bupati Kampung Baru, Demang Wiranata (1749-1758) membuat kolam ikan di halaman pendopo. Lama-kelamaan daerah itu diidentikan dengan empang dari sang Bupati.
Sebelum bernama Empang, wilayah ini dulunya bernama Soekaati (Sukahati) dan menjadi pusat pemerintahan Kampung Baru, yang merupakan cikal bakal dari Kabupaten Bogor tahun 1754.
Daerah tersebut mulai dinamakan pemukiman masyarakat Arab sejak tahun 1835 oleh pemerintah dengan menerbitkan Peraturan Wijkenstelsel, yaitu diberlakukannya zona pemukiman etnis.
Selain Empang, di beberapa daerah di Kota Bogor juga diberlakukan sebagai zona pemukiman etnis. Misalnya, di kawasan Jalan Sudirman sampai dengan sebelah selatan Kebun Raya dipenuhi penduduk asal Eropa. Sementara di sepanjang Jalan Suryakencana diperuntukan bagi warga keturunan Tionghoa.
Saat memasuki kawasan Empang, sudah berderet toko –toko yang menjual barang–barang bernuansa Timur Tengah. Di antaranya toko Al–dzazirah. Syarif, pemilik toko ini mengaku sudah empat tahun menjalankan usahanya di toko itu. “Usaha ini sudah berdiri sejak 2005, saya menerusi usaha dari orang tua,” ujar Syarif saat ditemui okezone, belum lama ini.
Barang–barang yang dijual umumnya perlengkapan ibadah seperti peci, sorban, sajadah, hingga tasbih. Selain itu, dia menjual berbagai merek parfum. Menurut Syarif, barang yang paling laris dijual adalah parfum jenis gaul. Yakni, parfum bermerek asal luar negeri, semisal Hugo, Kenzo, Bulgari dan lain–lain. Ada juga parfum untuk ibadah contohnya, merek Hajar Aswat, Kasturi, dan Malaikat Subuh.
Produk yang dijual kebanyakan berasal dari luar negeri, khususnya dari Timur Tengah. “Barang – barang yang ada di sini hampir semuanya impor,” tambah Syarif yang merupakan keturunan dari Yaman Selatan.
Keuntungan yang biasa dia peroleh dalam sehari sebesar Rp100 ribu sampai Rp200 ribu. Toko ini ramai dikunjungi saat hari–hari besar Islam, seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Keuntungan yang diperoleh bisa dua sampai tiga kali lipat dari hari biasanya.
Selain toko–toko yang menjajakan barang–barang dari Timur Tengah, di kampung Arab ini juga menjual berbagai makanan khas Timur Tengah. Salah satu toko Rumah Makan Sewun. Rumah makan ini terletak di pinggir jalan. Lokasinya yang strategis menjadikan rumah makan ini selalu ramai pembeli.
Padahal, Rumah Makan Sewun ini baru dibuka tiga bulan lalu. Sewun, nama rumah makan ini diambil dari nama daerah di Timur Tengah. Mahdi, pemilik Rumah Makan Sewun mengatakan nasi kebuli merupakan menu andalannya.
“Nasi Kebuli yang kami buat berbeda dengan yang lainnya. Dagingnya dibuat semur, sedangkan yang lain kan biasanya dibakar,” jelas Mahdi sambil menyebutkan harga nasi kebuli Rp25.000 per porsinya. Selain nasi kebuli, rumah makan yang buka dari pukul 10.00 sampai 20.00 WIB ini menjual kue khas Arab, seperti kue kamir, kue ka’at, kue manom dan lainnya.
Denyut perekonomian kawasan Empang juga terasa di halaman Masjid Agung Empang. Di halaman masjid yang juga dikenal sebagai alun–alun ini merupakan tempat berkumpulnya para pedagang kambing. Oleh karena itu, tempat ini sering disebut Pasar Kambing.
Pak Yus, salah satu pedagang yang sudah berjualan kambing hampir 13 tahun. Menurutnya, kambing–kambing yang dilelangnnya diambil dari peternak di Ciapus dan Cihideung. Pelanggannya berasal dari warga kampung Arab sekitar.
“Biasanya yang beli dagingnya suka dipake buat bikin nasi kebuli,” ujar Pak Yus yang mengaku mengambil untung sebesar Rp50.000 dari per ekor kambing. Pak Yus menyebutkan, waktu paling ramai jualan biasanya menjelang Hari Raya Idul Adha. “Biasanya kalau Lebaran Haji, keluarga keturunan habib selalu membeli kambing sampai 10 ekor,” imbuhnya.
(Dadan Muhammad Ramdan)