JAKARTA - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar mewanti-wanti Komisi Yudisial agar tidak menilai putusan hakim dalam persidangan bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar demi independensi pengadilan.
Dalam kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen itu, hakim memutus Antasari bersalah dan dihukum 18 tahun penjara.
“Yah, pokoknya itu kalau sudah menilai keputusan hakim itu tidak boleh, enggak boleh. Kalau sudah ada lembaga lain isi putusan hakim maka peradilannya bukan lagi independen,” ujar Patrialis kepada wartawan di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (25/4/2011).
Patrialis mengatakan, kewenangan KY dalam memeriksa hakim hanya sejauh yang terkait dengan kode etik, bukan menilai putusan suatu perkara. Menyangkut langkah KY saat ini yang memanggil sejumlah saksi ahli dalam persidangan Antasari, Patrialis tidak mau menilai apakah sudah melewati kewenangan lembaga itu atau belum.
“Saya tidak mau berkomentar. Itu saya enggak mau menjawab. Saya hanya bicara sesuai proporsinya. Kalau kita menilai lembaga lain enggak boleh dong. Bisa rusak kita punya tatanan,” ujarnya.
Hari ini KY meminta keterangan ahli forensik Universitas Indonesia Mun'im Idris dalam kapasitasnya sebagai saksi ahli kasus Antasari.
Ketika bersaksi di pengadilan, Mun'im mengatakan peluru yang ditemukan dalam tubuh almarhum Nasrudin berkaliber 9 milimeter. Hal ini berbeda dengan peluru yang ditunjukkan di persidangan yang berkaliber 3,8 milimeter.
Selain itu, Mun'im juga mengakui saat jenazah Nasrudin sudah dimanipulasi terlebih dahulu sebelum dirinya melakukan autopsi. Hal ini terlihat dari luka sudah dijahit, baju saat tertembak sudah dilepas dan kepala Nasrudin sudah dicukur.
Dia juga mengatakan, saat mengeluarkan hasil autopsi dirinya sempat ditelepon Wadirserse Polda Metro Jaya yang menanyakan apakah hasil autopsi yang menyebut kaliber peluru 9 milimeter bisa diubah atau tidak.
(Insaf Albert Tarigan)