JAKARTA - Ondel-ondel mulai berubah fungsi. Maskot ibu kota berupa sepasang boneka jumbo yang lazimnya parkir di gerbang pagelaran budaya atau pesta, kini banyak berkeliaran di jalan. Mereka diarak untuk mengais rejeki.
Budayawan Betawi Ridwan Saidi mengaku prihatin dengan kondisi ini. "Serba salah, negara kita ini miskin. Yang bilang kaya kan cuma SBY. Ini sudah salah kaprah, tapi kita mau ngapain lagi," ujar Ridwan saat berbincang dengan Okezone, Senin (14/10/2013).
Babe, sapaan akrab pria paruh baya itu, menyebut kesamaan keberadaan ondel-ondel kini dengan seekor monyet yang dieksploitasi pemiliknya untuk mengamen di perempatan jalan.
"Itu kan juga dilarang oleh orang-orang lingkungan hidup. Enggak boleh dipakai buat cari uang, tapi kan sampai sekarang masih banyak yang manfaatkan monyet buat ngamen. Kalau saya sih lihatnya, mendingan lah dari pada mereka malak-malakin orang," tandasnya.
Ondel-ondel sendiri memang sudah ada sebelum Islam masuk ke Pulau Jawa. Kala itu, boneka mirip ogoh-ogoh di Bali ini dijadikan leluhur warga Jakarta untuk menjaga kampung. Mereka dipercaya bisa mengusir roh-roh halus yang yang mengganggu manusia.
Namun, seiring berjalannya waktu, ondel-ondel dijadikan seni pertunjukan rakyat yang menghibur. Mengenai ondel-ondel yang kerap dijadikan alat mengamen, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, Arie Budiman, tak mempermasalahkan hal itu. Dia beralasan, ondel-ondel sebagai seni jalanan.
"Ini kan salah satu art street. Di luar negeri, juga banyak menyuguhkan seperti pantomim, lalu patung-patung yang dijadikan jadi alat buat ngamen. Jadi jangan mempermasalahkan ondel-ondel saja," kata Arie.
Arie pun membandingkan dengan banyak kesenian di beberapa daerah yang juga dimanfaatkan sebagai alat ngamen.
"Yang penting ondel-ondel itu juga harus lebih kreatif dalam menyuguhkan keseniannya. Tidak ada pemaksaan saat meminta dan menjaga kebersihan, jangan ondel-ondel dekil dibuat ngamen. Harus lebih atraktif dan kreatif lah mereka," sambungnya.
Namun begitu, Arie tetap mewanti-wanti agar para pengamen tidak membawa ondel-ondel mereka ke jalan raya sehingga menimbulkan kemacetan. Arie menganjurkan agar para seniman ondel-ondel ini berkesenian di area publik seperti monas atau taman-taman.
"Kami sebenarnya juga melakukan pembinaan yang kami lakukan terhadap seni tradisi Betawi, tentu melalui mekanisme kelembagaan sanggar-sanggar seni dan Lembaga Kebudayaan Betawi. Secara berjenjang pembinaan dilakukan oleh Sudin-sudin Kebudayaan dan Balai Latihan Kesenian di lima wilayah kota dan Kepulaun Seribu. Jadi pembinaan seni dilakukan secara kolektif," tandasnya.
(Dede Suryana)