Banyak Tokoh Politik dan Pejabat Beli Gelar Kerajaan

Oris Riswan, Jurnalis
Minggu 23 Februari 2014 19:15 WIB
Share :

BANDUNG- Sejumlah pejabat dan tokoh politik di Indonesia mendapat gelar kehormatan dari beberapa kerajaan atau kesultanan. Diduga ada praktik jual-beli dalam pemberian gelar itu.

Hal itu pun diakui Sekjen Silaturahmi Raja dan Sultan Nusantara (Silatnas), Benny Ahmad. Menurutnya, dulu sebelum Indonesia menjadi negara republik, para raja dan sultan benar-benar berkuasa dan mapan.

Tapi kondisi itu berubah setelah Indonesia menjadi negara dengan sistem pemerintahan republik. "Ini menariknya, kalau dulu raja-raja di zaman dulu mau makan tinggal minta, mau baju tinggal minta, dan lain sebagainya. Tapi pada saat (Indonesia) sudah jadi republik, turunan (kerajaan) tidak punya apa-apa," kata Benny di Bandung, Jawa Barat, Minggu (23/2/2014).

Saat ini, para raja dan sultan hanya menyandang status. Sedangkan kehidupan mereka saat ini jauh dibandingkan zaman dulu. Sisi keuangan pun memprihatinkan. Praktik jual-beli gelar pun terjadi. "Saat tidak punya apa-apa, yang ada hanya status doang. Pada saat status doang, dia bikin perjanjian (dengan pejabat), dia kasih gelar tapi minta rezeki untuk makan. Nah akhirnya ada transaksi jual-beli dan itu dilakukan," ungkapnya.

Padahal, kata dia, seharusnya hal itu tidak terjadi. Praktik pemberian gelar dari kerajaan atau kesultanan pun harusnya dilakukan secara benar sesuai adat dan istiadat yang ada. "Ini yang sering saya bilang, kalau mau memberi gelar kepada seseorang, seseorang itu diberi gelar apabila sudah loyal, cinta, dan ada karyanya bagi (kerajaan atau kesultanan) di daerah itu, boleh diberikan (gelar)" tegas Benny yang juga Raja Samu Samu.

Pemberian gelar itu harusnya sama seperti yang diberikan negara kepada seseorang. Gelar baru diberikan pemerintah kepada seseorang setelah yang bersangkutan terbukti jasa, kecintaan, dan loyalitasnya pada sesuatu, terutama bagi negara.

Soal pemberian gelar dari kerajaan atau kesultanan, Benny sedikit memberi pemaparan. Pemberian gelar yang benar itu dilakukan di kerajaan atau kesultanan yang memberikan gelar sesuai dengan adat istiadat dan budaya kerajaannya. "Intinya kalau pemberian gelar itu adanya di keraton, secara adat istiadatnya benar, itu tidak bermasalah. Tapi umpamanya itu pemberian gelar adanya di hotel, di restoran, itu tidak ada dalam adat istiadat," paparnya.

Pemberian gelar pun harusnya tidak berkaitan dengan unsur politik. Tapi ketika gelar sudah diberikan dan yang bersangkutan menggunakannya ke dalam dunia politik, itu di luar kewenangan pemberi gelar.

"Selama (pemberian gelar) itu masih dalam tatanan adat istiadat yang benar, tidak bisa dikatakan itu adalah masalah politik. Bahwa kemudian itu jadi (dibawa penerima gelar ke) politik, itu lain cerita," ujarnya.

Ia pun tahu beberapa orang yang menerima gelar dan kerajaan dengan cara  membeli gelar. "Kalau bicara mengenai ada tokoh-tokoh politik dapat gelar, saya tahu. Ada beberapa menteri mendapat gelar," cetusnya.

Tapi Benny ogah menjawab lebih panjang lagi seputar jual-beli gelar dari kerajaan atau kesultanan, termasuk siapa pelaku jual-beli gelar. Ia lebih senang membahas seputar penyetaraan atau standarsisasi adat istidat dan budaya nusantara.

(Stefanus Yugo Hindarto)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya