JAKARTA - Penyelenggaraan pemilihan umum presiden (pilpres) yang mempertarungkan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, akan segera berakhir saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) selesai merekapitulasi suara tingkat nasional pada 22 Juli mendatang.
Namun, masyarakat lupa jika sengketa pemilu legislatif (pileg), belum semuanya bisa diselesaikan dengan baik. Penilaian tersebut dikemukakan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Poppy Dharsono.
"Ratusan gugatan di MK digagalkan. Laporan ke Bawaslu atas kecurangan pelaksana pemilu tidak ditindak lanjuti. Jadi hampri dipastikan kejahatan pemilu dalam pilpres akan bernasib sama. Tidak akan ada kelanjutan alias jalan buntu," kata Poppy, Rabu (16/7/2014).
Selain itu, Poppy juga menyinggung soal lembaga-lembaga survei yang melakukan quick count atau hitung cepat. Menurut dia, semual lembaga survei telah terkontaminasi oleh kepentingan politik, sehingga tidak objektif lagi.
"Semua mengabdi pada kepentingan pendana survei. Sehingga survei sebagian besar menjadi bagian tim sukses," tegasnya.
Sementara, Arief Poyuono dari Federasi Serikat Pekerja BUMN, menegaskan agar KPU tidak terpengaruh dengan hasil-hasil lembaga-lembaga survey.
"Quick count sendiri adalah upaya politik pesanan. Kalau hasil penghitungan KPU sama dengan quick count maka seharusnya sudah tidak perlu lagi ada KPU," urai Arief.
Dalam temuan survei, publik sebenarnya mengetahui jika lembaga survei opini dan politik banyak melakukan manipulasi data survei dan tergantung pesanan.
"Seperti lembaga lembaga survei yang melakukan quick count pilpres yang dengan sudah mengumumkan kemenangan salah satu pilpres. Padahal tahapan pencoblosan saja masih belum selesai dibanyak TPS serta tahapan perhitungan yang masih berlaku," tuntasnya.
(Misbahol Munir)