JAKARTA - Selang dua bulan setelah mantan Menpora Andi Mallarangeng ditetapkan sebagai tersangka, mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum juga ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Anas diduga menerima gratifikasi berupa mobil Toyota Harrier dan uang terkait proyek Hambalang. Proyek tersebut menjadi perebutan antara PT Adhi Karya dengan PT Duta Graha Indonesia (DGI) milik Nazaruddin.
Peran Anas
Direktur Pemasaran PT. DGI Rosalina Manullang bertemu dengan Manajer Pemasaran PT Adhi Karya Aried Taudiqurrahman. Dalam pertemuan yang berlangsung di Hotel Dharmawangsa Jakarta Selatan itu, Rosa meminta PT Adhi Karya mundur dari proyek Hambalang, karena pihaknya yang akan mengerjakan.
Selanjutnya, Arief melaporkan hasil pertemuan itu kepada Kepala Divisi Konstruksi Jakarta I PT Adhi Karya Teuku Bagus Mokhamad Noor. Teuku pun meminta bantuan Mahfud Suroso yang dekat dengan istri Anas untuk tidak mengganggu PT Adhi Karya dalam proyek tersebut.
Mahfud pun mengatakan persoalan dengan Rosa telah selesai karena pada saat acara buka puasa bersama di rumah Anas, Mahfud melakukan pertemuan dengan Anas dan Nazaruddin. Saat itu Anas menyampaikan kepada Nazaruddin agar mundur dan tidak mengambil proyek konstruksi pembanguan sport centre Hambalang.
Akhirnya, PT Adhi Karya memenangkan lelang pekerjaan fisik pembangunan proyek Hambalang bersama dengan PT Wijaya Karya. Anas mendapat free sebesar Rp2,21 miliar yang digunakan untuk membantu pencalonan sebagai ketua umum Partai Demokrat 2010 di Bandung. Uang diserahkan Teuku Bagus melalui Direktur Operasi PT Adhi Karya, Munadi Herlambang dan Direktur Operasi PT Pembangunan Perumahan Ketut Darmawan.
Uang itu digunakan untuk membayar hotel, membeli handphone Blackberry beserta kartunya, sewa mobil bagi peserta kongres yang mendukung Anas, jamuan serta hiburan.
Selain itu, Anas juga membantu proses permasalahan tanah Hambalang yang belum bersertifikat. Anas memerintahkan politikus Partai Demokrat Ignatius Mulyono untuk mengurus permasalah hak pakai tanah.
Ignatius berhasil mengurus SK Hak Pakai atas tanah Kemenpora di Hambalang, dan menyerahkan SK tersebut ke Anas di ruangan Ketua Fraksi Partai Demokrat yang disaksikan Nazaruddin. Salinan SK diberikan ke Nazaruddin.
Jaksa menuntut Anas dengan hukuman pidana 15 tahun penjara dan denda sebesar Rp500juta. Anas didakwa menerima gratifikasi berupa 1 unit Mobil Toyota Harrier B 15 AUD senilai Rp 670 juta dan 1 unit Mobil Toyota Vellfire B 6 AUD senilai Rp735 juta.
Selain itu, dia juga diduga menerima kegiatan survei pemenangan dalam bursa Ketua Umum Partai Demokrat 2010 dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) senilai Rp 478 juta, serta menerima uang sebanyak Rp 116,5 miliar dan sekitar USD5,2 juta.
Selain menerima berbagai jenis gratifikasi, Anas juga didakwa telah melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sewaktu masih menjabat sebagai anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat. Nilai TPPU Anas, mencapai angka Rp23,8 miliar.
Anas Terbukti Bersalah
Akhirnya, Majelis Hakim Tipikor memvonis Anas delapan tahun penjara dan denda Rp300 juta subsidair. Selain itu, Anas juga diharuskan membayar uang pengganti kerugian kepada negara Rp57.590.330.580 dan USD5,261 dengan ketentuan apabila tidak membayar uang pengganti dalam waktu satu bulan setelah keputusan ini memperoleh keputusan tetap, maka harta bendanya akan disita oleh Jaksa Penuntut Umum dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Dalam amar putusan, hakim menyebut Anas menerima Rp2,2 milar dari PT Adhi Karya yang dikeluarkan melalui bon sementara oleh Teuku Bagus, Muhammad Noor, Munadi Herlambang dan Indrajaya Manapol dan almarhum Muchayat. Uang ini digunakan Anas untuk memuluskan pencalonan dirinya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
Kendati dibantah Anas, lantaran ada perbedaan antara tanggal bon dengan pelaksanaan Kongres Partai Demokrat. Hakim tetap merujuk dari keterangan saksi di mana bon tersebut tertulis nama yang mengusulkan nominal berikut keperluannya serta akan dibebankan terhadap proyek apa. Dalam hal ini, bon tersebut akan dibebankan dalam proyek pembangunan sport center di Bukit Hambalang, Bogor, Jawa Barat.
"Pengeluaran kasbon 1-5 menurut saksi Arief Taufiqurahman selaku manajer pemasaran PT Adhi Karya akhirnya dibebankan ke proyek Hambalang sesuai permintaan Teuku Bagus," ujar Hakim Anggota Sutio Jumagi.
Sementara itu, penerimaan lain yang juga dilakukan Anas yakni, terkait pemberian uang sebesar Rp25,3 miliar serta USD36,070 dari Permai Group yang juga dialokasikan untuk memuluskan langkahnya sebagai ketua umum partai berlambang bintang mercy ini. Kemudian, ada juga penerimaan uang Rp30 miliar dan USD5,2 juta dari mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin di mana uang itu juga untuk pemenangan Anas.
Uang ini berasal dari PT Permai Group yang tak lain bersumber dari fee proyek-proyek pemerintah yang dibiayai APBN dan ketika akan diberikan dimasukkan ke dalam delapan kardus.
Penerimaan lain Anas yang juga terkait dengan pencalonannya sebagai orang nomor satu di Partai Demokrat yakni berupa fasilitas survei dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) milik Denny JA. Anas disebut menerima fasilitas survei senilai Rp478 juta dalam kurun waktu April-Mei 2010. LSI memberikan fasilitas tersebut lantaran mendapat janji proyek survei oleh Anas.
"Dengan harapan, PT LSI mendapatkan pekerjaan survei untuk pemilihan bupati, wali kota dari Partai Demokrat," tuturnya.
Suami Athiyyah Laila ini juga terbukti menerima mobil Toyota Harier B 15 AUD seharga Rp670 juta. Dalam kesaksiannya, Nazaruddin mengaku memerintahkan anak buahnya di PT Anugrah Group, Yulianis untuk mencatat pembelian mobil tersebut yang dananya bersumber dari proyek Hambalang.
"Saksi Nazar memerintahkan Yulianis untuk mencatatkan pembelian mobil Harrier yang bersumber dari proyek Hambalang," ujarnya.
Dalam proses ini tidak terlepas dari peran istri Nazar, Neneng Sri Wahyuni yang menyuruh Yulianis membayar mobil dengan menggunakan uang tunai Rp150 juta sementara sisanya dibayarkan lewat cek Bank Mandiri atas nama PT Pasific Putra Metropolitian sebesar Rp520 juta yang dikeluarkan dari brankas PT Anugrah Group.
Menurut Hakim, walau uang itu bukan berasal dari proyek Hambalang namun berasal dari PT. Anugrah Group atau Permai Group yang bersumber dari hasil fee proyek pemerintah yang dibiayai APBN.
Menyangkut bantahan Anas yang menyebut Harier-nya dibeli dari uang pribadi dengan cara diangsur ditolak hakim lantaran tidak didukung alat bukti surat. Masih terkait penerimaan mobil, mantan Ketua Umum PB HMI itu juga diputus menerima fasilitas 1 unit mobil Toyota Vellfire B 69 AUD seharga Rp735 juta dari PT Atrindo Internasional, kendati belakangan mobil itu diganti mobil Nissan L Grand.
(Susi Fatimah)