JAKARTA - Kejaksaan Agung memastikan terpidana mati kasus narkoba asal Perancis, Serge Areski Atlaoui, tidak termasuk dalam daftar eksekusi hukuman mati gelombang kedua karena mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Namun, Kejagung siap mengeksekusi Serge tidak bersama dengan terpidana mati lainnya bila PTUN menolak gugatan yang diajukan Serge pada Kamis 23 April 2015.
"Kita tunggu putusan dari PTUN. Kalau ditolak, maka Serge akan dieksekusi sendiri," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Tony Spontana melalui pesan singkat kepada wartawan, Senin (27/4/2015).
Karena gugatan penolakan grasi oleh Presiden Joko Widodo yang diajukan Serge itulah, Kejaksaan terpaksa menunggu dan menghormati upaya hukum warga Perancis itu hingga tuntas.
Sebelumnya Tony menyatakan penundaan eksekusi mati terhadap Serge murni karena langkah hukum baru yang diambil timnya. Ia menampik adanya tekanan dari pemerintah Perancis yang mengancam akan mempersulit hubungan diplomatik dengan Indonesia termasuk menarik Duta Besar Perancis dari Jakarta. "Bukan karena tekanan Presiden Prancis," tegas Tony.
Seperti diketahui Sergei Atlaoui divonis hukuman mati terkait perannya dalam pabrik ekstasi terbesar di Asia dan nomor tiga di dunia yang berlokasi di Serang, Banten. Dia terbukti berperan sebagai peracik ekstasi di pabrik tersebut.
Batalnya Serge mengakibatkan jumlah terpidana mati yang akan dieksekusi tahap dua ini menjadi berkurang satu dari 10 orang menjadi sembilan. Mereka adalah Andrew Chan dan Myuran Sukumaran (keduanya WN Australia); Raheem Agbaje Salami (WN Spanyol); Rodrigo Gularte (WN Brasil), dan Martin Anderson alias Belo (WN Nigeria).Kemudian, Sylvester Obieke Nwolise (WN Nigeria); Okwudili Oyatanze (WN Nigeria); Zainal Abidin (WN Indonesia); dan seorang perempuan Mary Jane Fiesta Veloso (WN Filipina).
(Muhammad Saifullah )