Sekilas Lebih Dekat Mengenal KASAD Pertama, Kolonel Djatikusumo

Randy Wirayudha, Jurnalis
Kamis 14 Mei 2015 05:48 WIB
GPH Djatikusumo (Foto: Wikipedia)
Share :

TANPA mengurangi rasa hormat pada tiga angkatan lain (Angkatan Udara, Laut dan Kepolisian), perang berbagai kesatuan di Angkatan Darat seolah jadi tulang punggung perlawanan fisik Indonesia di masa revolusi mempertahankan kemerdekaan usai proklamasi 17 Agustus 1945.

Untuk lebih mengintensifkan konsolidasi kekuatan pasukan darat, jabatan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) tentu diperlukan. Wakil Presiden yang juga selaku Perdana Menteri pertama, Mohammad Hatta, kemudian menetapkan Kolonel Gusti Pangeran Harjo (GPH) Djatikusumo sebagai KASAD pertama.

Hatta memilih salah satu putra Susuhan Paku Buwono X dari Keraton Surakarta Hadiningrat (Keraton Solo), lewat Penetapan Presiden no.14 tahun 1948, pada 14 Mei 1948, di mana Angkatan Darat berada di bawah Kementerian Pertahanan yang bermarkas di Yogyakarta.

Hatta mendapuk Djatikusumo bukan tanpa alasan, melainkan juga mempertimbangkan pengalaman militer Djatikusumo sejak Hindia-Belanda masih berkuasa. Sosok kelahiran Solo 1 Juli 1917 itu pertama kali mengenyam pendidikan militer di CORO (Corps Opleiding Reserve Officieren) pada 1939.

Ketika penguasa berganti dari Hindia-Belanda ke Jepang, Djatikusumo melanjutkan pendidikan militernya masuk Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor dan kembali ke Solo setelah lulus. Singkat kata setelah Jepang menyerah, Djatikusumo memegang komando Batalyon BKR di kota kelahirannya.

Jabatan Panglima IV Divisi Salatiga serta Panglima Divisi V Pasukan T (Tjadangan) Ronggolawe, juga dipegangnya sebelum akhirnya dipercaya jadi Gubernur Akademi Militer di Yogyakarta, hingga menduduki kursi KASAD, 14 Mei 1948.

Kendati komando KASAD akhirnya diserahkan pada penerusnya, Kolonel Abdoel Haris Nasution, Djatikusumo turut masuk dunia politik setelah ditunjuk jadi Duta Besar untuk Singapura (1958-1960).

Tiga kali jabatan menteri juga pernah dibawahinya pada periode 1959-1963) sebagain Menteri Perhubungan Darat, Pos, Telegraf dan Telefon pada Kabinet Kerja I, II dan III.

Meski sudah masuk dunia politik, Djatikusumo tak pernah sekalipun abai terus memikirkan TNI, ketika sudah dileburkan dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

“TNI itu organisasi perjuangan. Berbeda dengan ABRI. Kalau ABRI itu alat negara. Saya ini sudah pensiun dari ABRI, tapi tetap anggota TNI,” papar Djatikusumo dalam buku ‘Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian’ karya Salim Said.

“Ini penjelasan saya mengapa saya masih ikut memikirkan TNI, ikut bicara mengenai peran politik TNI, berbicara mengenai TNI milik seluruh rakyat dan bukan golongan tertentu,” tandas figur yang tutup usia di Jakarta dan dimakamkan di Komplek Makam Imogiri, Bantul, Yogyakarta pada 4 Juli 1992 tersebut.

(Randy Wirayudha)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya