JAKARTA - Hari ini, 23 Maret 69 tahun yang lalu, Kolonel Abdoel Haris Nasution, Komandan Divisi III (sekarang Kodam III Siliwangi), seolah berada di persimpangan jalan. Nasib segenap rakyat dan anak buahnya di Bandung bak berada di tangannya.
Nasib yang nantinya akan terjadi peristiwa besar, yakni Bandung Lautan Api (24 Maret 1946). Tapi bukan peristiwa itu yang jadi inti penjabaran sementara ini, melainkan soal rangkaian bagaimana keputusan membumihanguskan segenap kota, sekaligus mengosongkan tempat tinggal ratusan ribu jiwa.
Sejak sekutu yang berintikan tentara Inggris dari Brigade MacDonald masuk ke Bandung pada 12 Oktober 1945, beberapa insiden tak terelakkan antara pemuda bersama tentara Indonesia dengan para pasukan Gurkha (tentara Inggris keturunan Nepal).
Akibatnya, pada 23 Maret 1946, Inggris yang dibonceng NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie), melayangkan ultimatum kedua dan jadi peringatan final yang disampaikan pada Gubenur Jawa Barat, agar Bandung Selatan seluruhnya dikosongkan pada 24 Maret pukul 24.00.
Sebelumnya, Inggris juga sempat mengeluarkan ultimatum pertamanya pada 27 November 1945, di mana mereka menuntut semua senjata bekas rampasan tentara Jepang diserahkan pada sekutu.
Menanggapi ultimatum terakhir itu, Nasution berangkat ke Jakarta untuk menemui Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Dalam pertemuan itu, PM Sjahrir memerintahkan TRI (Tentara Republik Indonesia–sekarang TNI) untuk menuruti ultimatum itu.