JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) mendapatkan rapor merah dari Kementerian Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB).
Dari hasil penilaian kementerian yang dipimpin Yuddy Chrisnandi itu Kejagung memperoleh peringkat ke-86 dengan skor 50.02 serta predikat CC. Itu mengacu hasil penilaian akuntabilitas kinerja. Rapor merah itu membuat lembaga yang dipimpin M Prasetyo berada di urutan buncit.
"Soal bagaimana instrumen yang digunakan dalam penilaian ini menjadi domain Kemenpan RB. Tapi hasil penilaian itu linear dengan penelitian FFH soal tingkat kepercayaan publik terhadap Korps Adhyaksa itu," kata Peneliti Senior Founding Fathers House (FFH) Dian Permata kepada Okezone, Selasa (5/1/2016).
Dian juga menerangkan, dalam riset FFH medio Oktober 2015 tentang tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga hukum, posisi Kejagung di bawah KPK, MA, MK, Kepolisian, dan Kehakiman/Pengadilan.
Kata dia, 59,8 persen responden sangat percaya dan percaya dengan KPK. 36,8 persen responden sangat percaya dan percaya dengan MA. 36,5 persen responden sangat percaya dan percaya dengan MK.
Kemudian, 36,3 persen responden sangat percaya dan percaya dengan Kepolisian. 34 persen responden sangat percaya dan percaya dengan Kehakiman/Pengadilan. Sedangkan, 33,1 persen responden sangat percaya dan percaya dengan Kejaksaan. 25,1 persen responden sangat percaya dan percaya dengan pengacara.
Tingginya tingkat kepercayaan publik pada lembaga KPK, MA, dan MK dilatarbelakangi beragam faktor. Seperti publik menyoroti kinerja dan integritas lembaga-lembaga tersebut.
Ketiganya dianggap publik mampu menjadi garda terdepan dalam menyelesaikan beragam kasus atau sengketa yang berkaitan dengan korupsi, suap, gratifikasi, etika, moral, undang-undang, dan lainnya.
"Kasus terakhir yang menyedot perhatian publik kepada Kajagung perihal disebut-sebutnya Kejagung dalam kasus suap dan gratifikasi bansos Sumatera Utara. Kasus ini akhirnya menyeret Rio Patrice," tegasnya.
Makanya, kata Dian, kasus itu akhirnya mematik wacana publik agar posisi Kejagung kembali diisi pejabat karier. "Dengan begitu, muatan politisnya dapat diminimalisir," sambungnya.
Tapi di sisi lain, publik juga harus kritis soal penilaian tersebut. Apakah ada muatan politis atau tidak? Soalnya hal ini tidak bisa dilepaskan dari posisi jabatan menteri yang dipimpin orang parpol.
"Apalagi dikeluarkan bersamaan panasnya isu reshuffle. Di mana PAN yang digadang-gadang masuk Kabinet Kerja secara otomatis menganggu kenyamanan partai-partai yang lebih dulu di kabinet. Jadi seperti puzzle. Ada yang masuk. Ada yang ke luar dan ada yang terdorong," tuturnya.