JAKARTA - Peneliti sejarah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam mengatakan, Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) masih memiliki dampak yang luar biasa hingga saat ini. Salah satu yang mencolok ialah adanya persoalan kekerasan di masyarakat.
"Supersemar persoalan secarik kertas. Tapi yang lebih utama dampaknya. Pengalihan kekuasaan yang menimbulkan kekerasan terhadap masyarakat, sampai hari ini dampaknya masih ada," ujar Asvi dalam diskusi di Jalan Wijaya Timur III, Jakarta Selatan, Jumat (11/3/2016).
Dampak tersebut misalnya, dalam pemilihan pejabat eselon I, harus terdapat memo dari Badan Intelijen Negara (BIN) terkait rekam jejaknya, apakah keturunan Partai Komunis Indonesia (PKI) atau tidak. Terlebih hingga kini masih terdapat Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966.
"Sampai hari ini pemilihan pejabat eselon I masih ada memo dari BIN rekam jejak pejabat itu anak atau keturunan PKI atau bukan. Memang ada Tap MPRS 25, larangan penyebaran Marxis, tapi itu tidak ada hubungannya dengan jabatan anak yang keturunan PKI," imbuhnya.
Sebab itu, Asvi menganggap perlunya rekonsiliasi. Selain itu, ia meminta agar adanya pelurusan sejarah.
"Diorama di Monas soal Supersemar, itu mengesankan Jenderal Soeharto pasif, dia hanya menjalankan perintah," tukasnya.
(Arief Setyadi )