Pada tahun yang sama, tepatnya 17 Juni 2014, ia diduga telah terlibat dalam serangan mortir yang menewaskan dua jurnalis Rusia. Ia segera ditahan, setelah seminggu menghilang di Kota Voronezh, selatan Rusia.
Ketika ditahan, ia bersaksi saat itu memang menuju ke lokasi yang dimaksud. Namun ia buru-buru ke sana karena mendengar para pemberontak telah memukul mundur dua kendaraan lapis baja dan tank mereka, sehingga ia ingin memeriksa situasi dan mengecek jumlah korban. Akan tetapi, ia diculik di tengah perjalanan dan mengaku diselundupkan melalui Luhansk, kota di timur Ukraina.
Selama masa penahanan, perempuan yang dianugerahi gelar tertinggi di negeri kelahirannya itu sempat menjalankan aksi mogok makan karena merasa proses hukum dirinya tidak adil. Berat badannya menurun drastis hingga 20 kilogram. Demikian juga dengan kesehatannya.
Foto: AFP
Akhirnya, ia meninggalkan aksi ekstremnya itu setelah 83 hari demi memenuhi banyaknya dukungan internasional yang datang bagi pembebasan dirinya. Selain karena sang ibu yang sudah berusia 78 tahun, menangis dan kesulitan tidur memikirkan nasib putrinya.
“Saya tidak bersalah dan saya tidak akan mengakui putusan pengadilan atau vonis apapun. Jika saya terbukti bersalah, saya tidak akan mengajukan banding. Saya ingin seluruh dunia yang menjunjung tinggi demokrasi memahami bahwa Rusia adalah negara Dunia Ketiga dengan rezim totaliter dan tiran kecil untuk seorang diktator dan telah meludahi hukum internasional dan hak asasi manusia," sergah dia.
Sokongan moril atas penahahannya datang tidak hanya dari Ukraina, melainkan juga dari composer Rusia Vladimir Nazarov. Dalam surat terbukanya kepada Presiden Vladimir Putin, ia menulis, “bahkan dalam mimpi terburuk saya, tak bisa dibayangkan bahwa saya harus meminta Anda untuk tidak membunuh seorang wanita.”
(Silviana Dharma)