Tetapi pada malamnya penonton dan yang ikut menari adalah lodaya atau maung siliwangi dengan ciri wujud manusia yang tidak memiliki hidung dan dibukungnya ada ekor.
“Pagelaran berakhir pada pukul pagi menjelang Subuh, namun rombongan ronggeng gunung tidak dibayar oleh yang mengundang,” papar Aceng.
Rombongan ronggeng gunung tersebut diantar pulang oleh tiga remaja, dipertengahan perjalanan ke tiga remaja berjanji akan memberikan bayaran dengan syarat selama perjalanan rombongan ronggeng gunung tidak diperbolehkan menengok ke belakang.
“Setelah sampai di daerah Gontelang Desa Panyutran Kecamatan Padaherang, rombongan ronggeng gunung sadar kalau mereka sudah sampai di wilayah kerajaan Tatar Galuh, namun ketiga remaja setelah memberikan sejumlah uang langsung menghilang,” jelas Aceng.
Saat rombongan ronggeng gunung menghitung uang yang diberikan oleh ke tiga remaja, uang tersebut mendadak berubah menjadi daun, Indung Beunti pun seketika kesal dan kecewa hingga melepaskan seluruh peralatan pentas dari mulai alat musik dan kostum ronggeng dan menguburnya di tempat tersebut.
“Setelah seluruh peralatan dikubur Indung Beunti bersumpah anak cucu dan keturunannya jangan ada yang menjadi penari ronggeng gunung,” jelas Aceng.
Setelah kejadian tersebut, ronggeng gunung mengalami krisis regenerasi dan akhirnya muncul generasi yang datang dari luar keturunan Indung Beunti yaitu Ki Maja Kabun.
“Singkat ceritra Ki Maja Kabun mengajarkan gerakan tari ronggeng gunung kepada dua penari perempuan diantaranya Indung Raspi yang sekarang berdomisili di Banjarsari dan Bi Penyoh yang saat ini menjadi dukun bayi,” pungkas Aceng.
(Khafid Mardiyansyah)