JAKARTA - Rencana memindahkan makam almarhum Tan Malaka alias Datuk Sutan Ibrahim ke lokasi pemakaman yang layak dinilai sebagai gagasan yang positif. Adalah Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata yang layak dijadikan pusara peristirahatan terakhir sang tokoh pergerakan nasional yang dikenal memiliki pemikiran revolusioner itu.
"Tidak dipungkiri Tan Malaka adalah pemikir dan ideolog yang ikut memberi kontribusi terhadap kebangsaan Indonesia, meski tokoh ini menempuh garis perjuangan tersendiri dan penuh misteri.Mengapa makam beliau tidak dipindah ke Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata. Bukankah Tan Malaka menyandang gelar Pahlawan Nasional?" kata pemerhati sejarah dan konsultan The Fatwa Center Jakarta, M Fuad Nasar di Jakarta, Jumat (25/11/2016).
Makam Tan Malaka yang ditemukan di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, menurut rencana tahun 2017 akan dipindahkan ke tanah kelahirannya di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Tan Malaka adalah pejuang revolusioner Republik Indonesia yang jejak sunyi petualangan politik dan buah pikirannya hingga kini masih diminati kalangan generasi muda.
Pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota siap untuk memfasilitasi pemindahan makam Tan Malaka, kata Fuad Nasar. Menanggapi rencana pemindahan makam Tan Malaka ke Sumatera Barat, M Fuad Nasar mempertanyakan mengapa makam beliau tidak dipindah ke TMP Kalibata.
"Bukankah Tan Malaka menyandang gelar Pahlawan Nasional?. Perlakuan atas kerangka jenazah Tan Malaka tidak boleh bertolak-belakang dari prinsip hidup almarhum. Tan Malaka adalah manusia sederhana, insan pejuang sepanjang hidupnya yang mengutamakan substansi perjuangan daripada simbolisasi. Tan Malaka adalah pejuang di bawah tanah yang menolak pengkultusan," papar Fuad.
Menanggapi adanya rencana penjemputan kerangka jenazah Tan Malaka melalui prosesi kirab yang akan disiapkan oleh Pemerintah Daerah setempat pada Februari 2017, ia mengingatkan bahwa apakah prosesi kirab dalam pemindahan makam sejalan dengan tuntunan agama Islam dan budaya Minang.
"Tan Malaka dijuluki sebagai Bapak Republik Indonesia dalam judul buku Mr Muhammad Yamin. Saya kira tidak ada polemik andaikata tulang-belulang beliau dikuburkan kembali di TMPN Kalibata. Prosesi standard di Taman Makam Pahlawan ialah pemakaman dengan upacara militer," ulas dia.
Fuad lantas membandingkan Sultan Alam Bagagarsyah Raja Pagaruyung terakhir yang dibuang oleh Pemerintah Hindia Belanda ke Batavia (Jakarta) dan meninggal di Batavia. Makam beliau pada tahun 1975 kemudian dipindahkan dari Mangga Dua ke TMP Kalibata, bukan ke Pagaruyung di Sumatera Barat. Kendati beliau semasa hidupnya raja di Minangkabau.
Pemakaman kembali kerangka jenazah Sultan Alam Bagagarsyah di TMP Kalibata atas persetujuan Presiden Soeharto saat itu dipandang sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan negara atas jasa dan perjuangan beliau dalam menentang penjajahan Belanda. Ketika itu para tokoh Minang, yaitu Bung Hatta, Buya Hamka, Prof Bahder Djohan, Prof Hazairin, Gubernur Harun Zain, menjadi pelindung dan panitia pemindahan makam Sultan Alam Bagagarsyah ke TMP Kalibata.
"Terhadap Tan Malaka, apalagi beliau Pahlawan Nasional, kenapa harus dibawa ke kampung asalnya. Makam Pahlawan Nasional Prof Mr Muhammad Yamin yang jenazahnya dibawa dari Jakarta untuk dikuburkan di Talawi, Sumatera Barat, tidak banyak generasi sekarang yang menziarahi," tukasnya.
(Ulung Tranggana)