Bagi yang berperkara, disiapkannya Medan Prijaji sebagai pembelanya. Tercatat dinas khusus dan utama Medan Prijaji ini sudah mengurusi 225 orang warga yang berperkara kepada pemerintah. Di antara mereka terdapat penjual ikan pindang dan ikan kering di pasar, bupati, beberapa sultan di luar Jawa-Madura, juga sebagaimana sudah dicatat di atas, seorang bekas pejuang Aceh yang dibuang begitu saja ke Bandung tanpa prosedur hukum yang wajar.
Jika pada masanya kebanyakan redaksi koran hanya mengutip berita-berita politik pemerintah kolonial dan bupati-bupati menggali sendiri bahannya. Hasilnya adalah tulisan-tulisan tajam, bahkan tak taktis. Sepak terjang itu kemudian membuat sosok Tirto dalam kurun yang sama menjadi manusia berbahaya bagi pemerintah kolonial lantaran telah mengubah cara berkeluh kesan publik dengan cara paling modern, yakni lewat koran.
Dengan menunggangi Medan Prijaji sebagai koran yang menggerakkan kawula bangsa untuk bangkit menolong diri sendiri, sekaligus pada kurun yang sama Tirto mendirikan Soeloeh Keadilan (1907) dan Poetri Hindia (1909). Tirto beberapa kali kena kasus.
Pertama, kasus Aspirant Controleur Purworejo A Simon dengan Wedana Tjorosentono yang mengangkat lurah Desa Bapangan yang tak beroleh dukungan warga.
Sementara si jago pertama yang didukung, Mas Soerodimedjo, malah ditangkap dan dikenakan hukuman krakal.
Terbakar oleh amarah melihat penyalahgunaan wewenang itu, Tirto menyebut pejabat tersebut sebagai monyet penetek atau ingusan dalam Medan Prijaji No.19 1909. Atas kasus ini, Tirto dibuang ke Lampung.
Kedua, kasus JJ Donner Madiun. Pada Medan Prijaji Th III 1909, muncul artikel Tirto “Drijfusiana di Madiun”. Artikel itu membongar persengkokolan Residen Donner dengan patih dan jaksa-jaksa di Madiun untuk menjatuhkan Bupati Madiun Brotodiningrat. Kasus itu disebut Tirto sebagai aib di pemerintahan Gubernur Jenderal Rooseboom.
Ketiga, skandal Patih Bandung pada 1910. Ia dihajar, dipukuli di pinggir jalan, hingga berdarah-darah akibat pidatonya dan diseret ke pengadilan. Antara lain bunyi pidatonya, Kecintaan rakyat, terutama kasta kami, kaum mardika, ...ada tergantung pada tactnya priyayi, dan kecintaan itu mudah diperoleh jika yang jadi jembatan antara bangsa yang diperintah dengan bangsa yang memerintah muda didekati dan mudah terdekati oleh kasta kami, kaum mardika, karena cara begitu kami tak perlu rugi karena rupa-rupa pengaruh dalam menyampaikan keluh kesah ratap tangis kami pada yang wajib menolong kami...
Keempat, kasus Brunsvel van Hulten. Dia adalah pengacara yang sadar hukum, tapi menempuh jalan kekerasan untuk menaklukkan Tirto. Dikawal oleh jurnalis muda bernama Dominique Willem Beretty, ia mendatangi kantor Medan Prijaji dan meminta mencabut beberapa tulisan. Tirto menolak dan kena cambuk. Marco, seorang anak bawang, hanya bisa melihat pengajaran kepada guru jurnalistiknya itu.
Kelima, kasus Bupati Rembang. Pada Medan Prijaji edisi 17 Mei 1911, Tirto menuding Bupati Rembang, Raden Adipati Djojodiningrat, suami almarhum RA Kartini, telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan yang bersekutu dengan Patih Rembang Raden Notowidjojo. Keduanya pasang akal bulus menguasai kursi Bupati Tuban yang lowong dengan cara mengawinkan puteranya dengan gadis bupati yang barusan mangkat itu.
Keenam, setahun setelah kasus Rembang, Tirto menyikut residen Ravenswaay dan Boissevain karena menghalangi putera Djojodiningrat menjadi bupati. Sewaktu bupati itu meninggal, Gubernur Jenderal melayat dengan iringan kendaraan berular-ular. Layatan tak wajar itu kena tinju juga oleh Tirto dengan menyebutnya sebagai “kyaine” yang memakai uang rakyat secara sembrono.